JAKARTA – Penggunaan gas sebagai bahan bakar transisi energi dinilai akan tetap menjerat negara di dunia dengan krisis energi yang sama, menimbulkan risiko aset terbengkalai dan menyulitkan untuk mewujudkan komitmen Persetujuan Paris membatasi kenaikan suhu permukaan bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Anna Chapman, Analis Iklim dan Kebijakan Energi dari Climate Analytics, mengatakan penghentian pengoperasian pembangkit listrik bertenaga gas harus segera terjadi paling lama 5 – 10 tahun setelah seluruh PLTU batu bara dihentikan baik di negara maju dan negara berkembang.

“Biaya energi terbarukan dan baterai menjadi lebih murah tiap tahunnya dan lebih minim emisi dibandingkan gas sehingga keluar dari penggunaan bahan bakar gas menjadi mendesak dan penting,” kata Anna, dalam webinar yang diselenggarakan oleh CASE dan C20, Kamis(25/8/2022).

Ia juga menyampaikan bahwa komitmen yang kuat dari pemerintah serta dukungan finansial, teknis untuk bertransisi dari negara maju sangat diperlukan oleh negara berkembang.

“Saling menopang untuk memenuhi target iklim bahkan juga sudah diatur dalam Persetujuan Paris,” ujar Anna.

Mia Moisio, Analis Kebijakan Iklim dari New Climate Institute, menekankan agar pemerintah di tiap negara, termasuk di Indonesia mempertimbangkan jalan keluar yang tepat dari krisis energi dengan tidak secara gegabah membangun infrastruktur gas walaupun dengan alasan mempercepat transisi energi.

“Terburu-buru untuk membangun infrastruktur gas baru di seluruh dunia untuk menggantikan gas Rusia akan mengunci dunia ke dampak pemanasan global yang permanen. Kegagalan pemerintah untuk tetap mitigasi krisis iklim selama pemulihan COVID 19, agaknya akan kembali terulang dalam menghadapi kejutan energi global. Sementara, sebenarnya ada banyak pilihan yang kurang dimanfaatkan untuk lepas dari ketergantungan dari bahan bakar fosil,” ujarnya.

Pemerintah dinilai dapat segera menghentikan pembangunan infrastruktur bahan bakar gas dan meningkatkan pengembangan energi terbarukan serta meningkatkan produksi hidrogen hijau. Selain itu, perubahan perilaku di masyarakat juga perlu didorong dengan memberikan insentif yang menarik bagi masyarakat yang mempunyai gaya hidup rendah karbon.

Raditya Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebutkan perubahan perilaku, seperti yang disebutkan di laporan yang ditulis oleh Mia, ini akan mendorong pengguna energi untuk lebih memperhatikan konsumsi energinya, sehingga pasar yang terbentuk terisi oleh-oleh peralatan yang efisien dan rendah emisi. Hal ini menjadi penting mengingat beban APBN yang semakin tinggi di tingginya harga komoditas energi dunia.

Namun, menurutnya, pemerintah tetap perlu memainkan perannya dalam mendorong kebijakan yang ramah energi bersih.

“Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan refocusing dari APBN agar pengembangan proyek energi bersih mendapat porsi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Alokasi ini dapat menjadi catalytic investation, yang jika dibarengi oleh regulasi yang tepat, dapat mendorong terbentuknya pasar yang dengan sendirinya akan berkembang,” ungkap Raditya.

Di sisi lain, Herman Daniel Ibrahim, menyadari dilema penggunaan gas masih dirasakan oleh pemerintah. Ia memandang dekarbonisasi penting dilakukan namun tetap perlu mempertimbangkan keamanan energi bagi masyarakat.

“Rencana pensiun PLTU batubara dan gas mesti dilakukan dengan perhitungan yang detail,” kata Herman.(RA)