TRANSISI energi jadi menu wajib dalam setiap program kerja perusahaan yang bergerak di sektor energi. Bagi PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), transisi energi bukan hanya sekedar mengikuti arus perkembangan dunia usaha akan tetapi juga sebagai peran perusahaan dalam mendukung program bauran energi yang dicanangkan pemerintah Indonesia.

Meskipun saat ini core business (bisnis utama) perusahaan adalah minyak dan gas bumi (Migas), manajemen Medco mengklaim juga memiliki rencana jangka panjang dalam bisnis energi dengan mengembangkan bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT) yang bermuara pada ketenagalistrikan.

Hilmi Panigoro, Direktur Utama Medco Energi, menjelaskan bahwa manajemen telah menetapkan bisnis gas sebagai batu loncatan dalam proses transisi energi yang tengah terjadi. Manajemen juga sadar betul tren transisi energi didorong oleh urgensi untuk menekan krisis iklim yang tengah dihadapi oleh pemerintah dan dunia. Hal itu menunjukkan bahwa posisi perusahaan jelas untuk bersama-sama pemerintah ambil bagian dalam menekan emisi.

Dalam bauran energi nasional, pemerintah menetapkan bauran energi gas naik dari posisi saat ini 19% menjadi sebesar 22% pada tahun 2025 dan terus tumbuh persentasenya menjadi 24% pada tahun 2050. Begitu juga dengan bauran EBT dari posisi saat ini 11% menjadi 23% pada tahun 2025 dan terus teumbuh menjadi 31% pada tahun 2050.

Medco sendiri memiliki beberapa program kerja yang mendukung pencapaian target pemerintah misalnya proyek ketegalistrikan berbasis gas, tenaga surya serta Geothermal.

“Pemerintah targetkan 2025 ebt 23% dan 2050 31% alhamdililah hari ini Medco Power (anak usaha Medco Energi) kami akan bangun portofolio energi PTGU Riau, lalu Kansai bangun aliansi gas to power, kami bor sumur keenam di ijen, 100 MW. PLTS,  pertama di Sumbawa 26 Megawatt Peak (MWp) dan Bali 50 MWp,” jelas Hilmi belum lama ini.

Gas memang mendominasi cadangan yang dimiliki Medco. Hingga semester I tahun ini tercatat jumlah sumber daya migas Medco mencapai 1,233 miliar barel setara minyak (MMBOE) dengan rincian porsi  sumber daya gas mencapai 1,041 MMBOE atau sebesar 84%, sementara minyak hanya 192 MMBOE atau 16%.

Ketenagalistrikan sebagaian besar saat ini juga diproduksi dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU). Hingga semester I tahun 2021, penjualan listrik dari PLTGU tercatat sebesar 908 Gigawatt per hour (GWh) atau 67% dari seluruh penjualan listrik Medco. Sisanya sebanyak 33% atau 477 GWh berasal dari penjualan listrik pembangkit EBT.

“Cadangan dan sumber daya MedcoEnergi saat ini 84% berupa Gas yang dapat dimonetisasi untuk jangka panjang sesuai Reserves Life-nya,” ungkap Hilmi.

Dia menjabarkan beberapa proyek bertemakan energi hijau yang dikerjakan Medco yakni PLTGU Riau berkapasitas 275 MW. Kemudian Aliansi dengan Kansai Electric untuk Proyek PLTGU. Kesepakatan tersebut meliputi kerjasama strategis untuk menyatukan keahlian teknis global Kansai Electric dengan pengalaman Medco Power dalam bisnis pembangkit listrik di Indonesia. Manajemen Medco menilai Kansai electric sebagai perusahaan listrik integrasi terbesar di Jepang sehingga kerja sama ini diharapkan bisa membuka peluang di sektor ketenagalistrikan dengan tarif kompetitif dan bersih. Selain itu, Kansai juga salah satu pemain yang berpengalaman untuk LNG gas to power dan EBT.

Ada juga pengembangan Geothermal Ijen yang diproyeksikan berkapasitas 110 MW. Pemboran eksplorasi sudah dilakukan Medco di sana. Medco Power Indonesia bekerjasama dengan Ormat Geothermal Power yang telah memiliki Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dengan PLN untuk jangka waktu 30 tahun. Unit 1 pembangkit ini ditargetkan akan beroperasi secara komersial pada tahun 2022 -2023. Berikutnya ada PLTS di Sumbawa (26 MWp dan Bali dengan kapasitas 50 MWp.  PLTS (PV) Sumbawa dibangun untuk memenuhi kebutuhan setrum bagi PT Amman Mineral Nusa Tenggara yang juga merupakan anak usaha dari PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC). Sementara untuk PLTS dibali ditargetkan bakal beroperasi komersial alias Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2022.

Teranyar adalah salah satu proyek EBT prestisius yakni Proyek PLTS Pulau Bulan yang produksi listriknya juga akan diekspor ke Singappura. Dalam proyek tersebut Medco Power bersama dengan Konsorsium Pacific Light Power Pte Ltd (PLP) dan Gallant Venture Ltd, kelompok usaha Salim Group, akan mengembangkan pilot project impor listrik menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari Indonesia ke Singapura di Pulau Bulan, Provinsi Kepulauan Riau.  Realisasi rencana itu akan dilakukan setelah menerima Izin Prinsip impor listrik dari Energy Market Authority (EMA) Singapura. Proyek ini memiliki kapasitas 670 MWp sebagai tahap awal, yang akan menyediakan listrik yang setara dengan 100 MW nonintermittent ke Singapura. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah Singapura dalam melaksanakan Program Singapore Green Plan 2030 untuk meningkatkan porsi energi terbarukan.

Konsorsium telah menandatangani Joint Development Agreement saat acara Singapore International Energy Week pada 25 Oktober 2021 yang dihadiri oleh Menteri ESDM, Menteri Tenaga Kerja/Menteri Kedua Perdagangan dan Perindustrian Singapura, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, dan Chief Executive EMA.

 

Proporsi Tepat Transisi Energi 

Ada poin penting yang harus dipahami dalam melihat target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Mengejar bauran energi nasional bukan berarti Indonesia akan meninggalkan migas begitu saja. Transisi energi dilakukan Medco dengan proporsi yang tepat . Jika dilihat secara persentase bauran energi, memang migas mengalami penurunan yakni dari posisi 32% sekarang ini menjadi 25% pada tahun 2025 serta 20% di tahun 2050. Tapi kalau dilihat dari sisi volume ternyata justru meningkat. Hal itu wajar lantaran kebutuhan energi secara keseluruhan juga meningkat mengikuti pertumbuhan ekonomi.

Dalam RUEN, target bauran energi tahun 2025 diperkirakan mencapai 25% untuk minyak dan gas 22% dari total kebutuhan yang diperkirakan mencapai 400 Million Tonnes of Oil Equivalent (MTOE). Kemudian persentasenya menurun tahun 2050 untuk minyak 20% dan gas 24%. Akan tetapi dari sisi volume, kebutuhan energi meningkat hingga mencapai 1.000 MTOE. Ini membuktikan bahwa peran energi fosil berupa migas dalam pemenuhan kebutuhan energi masih sangat krusial.

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), juga pernah mejelaskan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, konsumsi minyak pada 2050 diperkirakan akan meningkat sebesar 139%, dari saat ini konsumsi sekitar 1,66 juta barel per hari (bph) menjadi 3,97 juta bph pada 2050. Sementara untuk konsumsi gas diperkirakan akan meningkat lebih besar lagi. Konsumsi gas saat ini sekitar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), lalu diperkirakan akan meningkat menjadi 26.112 MMSCFD pada 2050 atau meningkat sebesar 298%.

“Disamping untuk memenuhi kebutuhan energi yang akan terus bertumbuh, migas juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan feedstock bagi pembangunan sektor industri, khususnya industri petrokimia,” kata Dwi.

Untuk itu Medco kata Hilmi tidak juga akan melupakan bisnis migas begitu saja. Dia menuturkan keseimbangan dalam mengelola portofolio bisnis antara fosil dan EBT jadi kunci perusahaan untuk terus tumbuh di masa depan. “Saya lihat begini,SKK Migas perlihatkan kondisi permintaan energi bauran EBT meningkat, fosil berkurang. Tapi secara volume tetap meningkat. Dalam proses transisi energi ini, gas dan minyak tetap penting. Kita tidak mau pada saat transisi terjadi infrastruktur belum siap jadi tiba-tiba terjadi kelangkaan energi,” ungkap Hilmi.

Menurut dia sebuah study di Timur Tengah menunjukkan bahwa hari ini berhenti eksplorasi di migas hanya andalkan eksisting infrastruktur EBT yang belum siap harga minyak akan naik tiga kali lipat. Kenaikan demand atau permintaan tiba-tiba bisa naikkan harga gas. Ini yang terjadi di negara-negara maju seperti Eropa maupun China. “Jangan sampai terjadi terutama di indonesia,” ujar Hilmi.

Sementara dalam kajian Medco menunjukkan jika kendaraan listrik dikembangkan dengan akselerasi, sampai 2040. Ada kehilangan permintaan minyak sekitar sebelas juta barel per hari dalam waktu 20 tahun tetapi ada pertumbuhan kebutuhan aviasi, petrokmia sebesar 1% per tahun. Ini memberikan gambaran bahwa 1 juta Barel Per Hari (BPH) dan 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) gas pada tahun 2030 masih dibutuhkan untuk negara seperti Indonesia.

“Indonesia di asean unik, tidak bisa disamakan dengan Eropa. Kita komit turunkan karbon, tapi kita harus realistis sediakan energi yang affordable,” kata Hilmi.

Fabby Tumiwa  Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan upaya masyarakat dunia mencegah memburuknya krisis iklim dilakukan melalui transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan menjadi mainstream dunia dan membuka kesempatan bisnis baru yang harus direspon oleh pelaku usaha energi.

“Saya menilai Medco telah membaca arah transisi energi dan medco sudah memiliki rencana strategis perusahaan mengantisipasi perubahan ini sejak 3-4 tahun lalu,” kata Fabby kepada Dunia Energi, Senin (22/11).

DIa menjelaskan di bidang pembangkitan, Medco mulai beralih ke pengembangan energi terbarukan, khususnya PLTS dan memperkuat Investasi mereka di PLTP. Untuk PLTG, sudah lama Medco masuk di pembangkitan ini. Di kemudian hari feedstock PLTG dari gas bisa disubstitusi oleh power fuels yang lebih bersih sehingga bisa menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). “Jadi kesimpulan saya, sudah tepat langkah bisnis Medco,”  ujar Fabby. (RI)