JAKARTA – Pengembangan jaringan listrik pintar (smart grid) menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, apalagi jika pemerintah mau menjadikan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai pemasok utama dalam memenuhi kebutuhan listrik ke depan. Untuk itu PT PLN (Persero) harus bersiap dengan memasukan jaringan smart grid dalam perencanannya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa hingga kini pemerintah dan PLN belum memiliki perencanaan pengembangan smart grid nasional. Padahal, hal ini dibutuhkan di masa mendatang, seiring semakin banyaknya pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang bersifat intermitte. Kondisi tersebut harus segera berubah agar target EBT dalam bauran energi yang mau ditingkatkan juga bisa terwujud.

“Harus direncanakan. Pengembangan smart grid harus mengikuti kebutuhan sistem tenaga listrik yang akan dikembangkan PLN, serta dalam rangka mencapai efisiensi operasi dan optimalisasi pasokan dan permintaan,” kata Fabby, Senin (12/7).

Sekarang ini menurut Fabby implementasi smart grid di Indonesia baru sebatas pemasangan alat meter listrik modern (advance metering infrastructure/AMI) dengan target 1 juta unit pada 2022. Tentu tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang sudah melakukan uji coba pada 2015-2016 dan implementasi pada 2019 lalu.
Dia menjelaskan Singapura menargetkan pemasangan AMI rampung pada 2024, sedangkan Malaysia pada 2026.

Sementara negara lain telah mengintegrasikan sistem transmisi listriknya dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Hal ini membuat demand response lebih efektif dan integrasi dengan pembangkit energi terbarukan variabel yang lebih besar.

“Di sistem penyaluran beban sudah mulai dilakukan upgrading sistem operasi transmisi tapi saya tidak tahu teknologi macam apa yang dipakai,” ujar Fabby.

Dia menilai salah satu hal yang menghambat pengembangan smart grid adalah regulasi yang belum memfasilitasi. Misalnya melalui pasar listrik peer to peer (P2P). Padahal, penjualan listrik P2P ini merupakan salah satu manfaat smart grid. “Selain itu penerapan smart grid sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan PLN. Rencana pengembangan smart grid nasional pun belum ada,” ungkap Fabby.

Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan pemerintah mendorong pengembangan smart grid untuk mengejar target pengembangan energi terbarukan 38 gigawatt (GW) hingga 2035. “Saat ini direncanakan tujuh proyek smart grid di Jawa-Bali,” kata Ego.

Ketujuh proyek ini yakni Smart Grid Cawang di Jakarta, Jawa Control Center (JCC) Gandul, Cirata Hydro Electric Power Plant (HEPP) Smart Control Project, dan Regional Control Centre (RCC) Cigareleng di Jawa Barat, RCC Ungaran di Jawa Tengah, RCC Waru di Jawa Timur, serta RCC Bali.

Memang sudah ada pengembangan smart grid telah dilakukan di Sistem Jawa-Bali. Tapi itupun masih terbatas yakni pengembangan smart grid di Digital Substation Sepatan II, Digital Substation Teluk Naga II, Reliability Efficiency Optimization Center (REOC) pada sistem milik Indonesia Power, Remote Engineering, Monitoring, Diagnostic and Optimization Center (REMDOC) pada sistem milik PT PJB, dan AMI untuk pelanggan PLN di Jakarta. “Implementasi smart grid telah masuk sebagai program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” kata Ego.(RI)