JAKARTA – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) atau PGN akan mulai terjun ke bisnis baru di sektor hilir migas yakni bisnis petrokimia sebagai bagian dari diversifikasi bisnis PGN ke depan.

Suko Hartono, Direktur Utama PGN, mengatakan sektor hilir gas masih sangat berpotensi untuk terus berkembang, apalagi setelah bisnis migas dihantam anjloknya harga minyak dan pandemi Covid-19. PGN  tidak akan menjadi perusahaan yang dikenal dengan hanya menjual bahan baku energi saja.

“Jadi nanti tidak hanya jualan bahan bakar, kami usulkan masuk di portofolio hilir,  masuk ke industri petrokimia jadi gas bisa dimanfaatkan jadi methanol ke DME dan seterusnya, kemudian amonia dan turunannya,” ungkap Suko disela rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR,  Senin (6/7).

Suko mengatakan PGN tidak akan jor-joran untuk mengalokasikan gasnya untuk dijadikan petrokimia. Maksimal hanya sekitar 15% yang akan dipasok untuk kebutuhan petrokimia. Selain itu, PGN sebagai subholding gas juga tidak akan sendiri, tapi akan menggandeng subholding Pertamina lainnya yakni PT Kilang Pertamina Internasional.

“Kami batasi portofolio 5%-15% karena itu bukan bisnis kami. Itu bisnis kerja sama dengan subholding kilang, kami melihat bisa meningkatkan volume (pemanfaatan gas),” ungkap dia.

Potensi pengembangan DME kata Suko cukup menjanjikan karena nantinya juga dapat digunakan sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG). Sehingga hal ini juga akan menekan ketergantungan impor pada bahan bakar LPG.

PGN juga telah melakukan studi terkait rencana tersebut dan menargetkan hasil studi dapat rampung paling lambat pada 2023 mendatang. Pemanfaatan untuk petrokimia juga penting agar pemanfaatan gas untuk dalam negeri bisa terus ditingkatkan.

PGN akan memanfaatkan sumber-sumber gas utama di Indonesia untuk dijadikan petrokimia nantinya seperti di lapangan Grissik, lalu ada juga gas dari Jambaran Tiung Biru (JTB) serta sumber-sumber gas yang ada di wilayah Kalimantan.

“Kami akan manfaatkan gas murah dari Sumatera Selatan di Grissik, ada dari Jawa Timur (JTB), ada juga dari tempat lain di Kalimantan dan sebagainya ” kata Suko.

Strategi pengembangan gas untuk petrokimia tidak lepas dari kondisi perusahaan yang harus melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kinerja yang diakibatkan tingginya biaya operasi PGN dalam 10 tahun terakhir.

Menurut Suko, dengan adanya integrasi di subholding gas maka biaya operasi PGN yang tadinya tinggi bisa ditekan apalagi dengan bisa dimanfaatkannya fasilitas maupun infrastruktur yang dimiliki oleh PT Pertamina Gas (Pertagas).

“Harus kami akui bahwa 5-10 tahun biaya operasi terlalu membengkak tidak ada pilihan kami harus lakukan efisiensi nanti, dengan cara integrasi sistem pipeline hulu di hilir integrasi pipa PGN,” kata Suko.(RI)