JAKARTA – Masalah lonjakan tagihan listrik yang makin sering terjadi, terutama pada masa pandemi Covid-19 belum ada solusi berarti. Pemerintah maupun PT PLN (Persero) sama-sama menjadikan skema pencatatan tagihan dan pola konsumsi masyarakat yang meningkat sebagai penyebab lonjakan tagihan tanpa disadari.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan lonjakan tagihan yang dirasakan masyarakat karena ada metode pencatatan yang berbeda menggunakan rata-rata pemakaian per tiga bulan. Pada saat tagihan Juni, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai dilonggarkan sebagai upaya pemerintah untuk memulihkan aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat, PLN telah menggerakkan kembali aktivitas pencatatan meter ke rumah pelanggan. Pencatatan meter pada periode Mei secara aktual menghasilkan kenaikan yang relatif signifikan pada sebagian pelanggan. Kenaikan tersebut disebabkan konsumsi listrik pada pertengahan April hingga Juni yang meningkat signifikan.

Oleh karena itu, terjadi perbedaan realisasi konsumsi dengan penagihan menggunakan rerata tiga bulan sebagian besar realisasi lebih besar dari apa yang ditagihkan.

“PLN mengambil kebijakan yang juga diambil negara lain melakukan perata-rataan, hanya saja rata-rata di mana Covid belum melanda. Sementara tagihannya di mana Covid sudah melanda, Artinya orang lebih banyak kerja di rumah. Itulah yang kemudian terbebankan ke rekening berikutnya. Jadi rata-ratanya  tidak bisa langsung karena Covid, karena orang takut didatangi,” ungkap Rida saat konferensi pers virtual, Selasa (11/8).

Namun masalahnya lonjakan tagihan listrik terus berlanjut hingga tagihan Juli dimana PLN mengklaim semua petugas pencatat meterannya sudah bertugas normal atau mendatangi rumah pelanggan. Baru-baru ini bahkan heboh ada pelanggan rumah tangga golongan 900 VA yang tagihannya mencapai Rp19 juta lebih sebulan.

Ketidakwajaran tagihan ini diungkap dalam akun twitter @ummudaardaa. Dia menggunggah foto bukti tagihan listrik yang mencapai Rp 19.675.707. “Yang nanya bukti, nih aku zoom. Bukti tagihan listrik bulan ini. Waahhh @pln_123, padahal tagihan normal Rp400 ribu dan listrik 900 watt loh itu,” tulis @ummudaardaa.

Sementara itu. Hendra Iswahyudi, Direktur Bisnis dan Usaha Ditjen Ketenagalistrikan mengungkapkan telah menerima laporan terkait kehebohan tagihan Rp 19 juta tersebut. Dia menuturkan bahwa setelah dilakukan mediasi, ternyata memang ada kesalahan pencatatan. Ini ditunjukkan dengan jumlah tagihan listrik yang hanya dikisaran Rp1 jutaan.

“Angkanya sudah clear, sudah ketemu sama pelanggan. Solusinya sudah disepakati, mekanismenya. Itu di Makasar, pelanggan hanya bayar Rp1.050.000 dengan dicicil empat kali per bulan. Jadi 200 ribu. Itu sudah clear,” kata Hendra.

Bisa Salah

Rida mengakui PLN bisa saja salah. Pasalnya sebagai satu-satunya perusahaan penyedia listrik bagi masyarakat, PLN kini melayani lebih dari 70 juta pelanggan.

“Kalau ada kesalahan dan pasti ada kesalahan yang terpenting bagaimana solusinya. Ini yang kemudian kami minta PLN membuka channel aduan. Ada enam channel. Begitu pun kami di pemerintahan dalam rangka pelayanan publik, pasti ada yang mengadu dan diselesaikan. Itu sudah kami mintakan ke PLN,” tegas Rida.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essetial Service Reform (IESR), mengungkapkan baik PLN maupun pemerintah dalam kasus ini tidak memiliki itikad baik. Terlebih pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab ikut mengawasi operasional PLN.

Padahal ini persoalan antara pelanggan dan PLN sebagai penyedia listrik (utility). Seharusnya kasus seperti ini diinvestigasi dan hasil investigasi disampaikan kepada publik oleh dirjen kelistrikan sebagai regulator kelistrikan.

“Saya sarankan dirjen Kelistrikan membuka saluran info pengaduan pelanggan, dan melakukan public hearing dengan PLN, selain melakukan investigasi independen untuk mengetahui apa yang sebenarya terjadi,” kata Fabby.(RI)