JAKARTA – Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), asosiasi profesi di sektor ketenagalistrikan, meminta pemerintah menyiapkan menyiapkan kebijakan dan regulasi yang dapat menjadi pendorong investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Muhammad Sofyan, Wakil Ketua Bidang Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) MKI, mengatakan pemerintah juga perlu membangun ruang fiskal dan menyediakan ruang-ruang insentif untuk mendukung investasi di bidang tersebut.

“Dengan ekosistem industri yang kondusif, swasta pun dapat mendorong terjadinya kemitraan yang menguntungkan, meningkatkan transfer teknologi dan investasi,” ujarnya.

Sofyan mengatakan bauran energi antara fosil dan energi terbarukan untuk keberlanjutan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional akan semakin dibutuhkan.

Di sisi lain, pemerintah terus berusaha meningkatkan porsi energi baru terbarukan sebagai sumber energi primer dalam bauran energi pembangkit listrik nasional.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi EBT bertambah 2 persen dalam tiga tahun menjadi 12,15 persen pada akhir 2017.

Pertumbuhan 2 persen dalam tiga tahun dinilainya tidak cukup untuk mengejar target Kebijakan Energi Nasional (KEN) 23 persen tahun 2025 sehingga perlu mendorong investasi swasta.

Riki Firmandha Ibrahim, Dewan Pakar MKI, mengatakan ada beberapa tantangan utama dalam pengembangan EBT di Indonesia, terutama di bidang panas bumi, yakni harga jual listrik, kompleksitas perizinan, pembiayaan proyek, kepastian implementasi kebijakan fiskal dan risiko geologi.

“Selanjutnya masalah penyiapan lahan dan infrastruktur, hubungan sosial kemasyarakatan, kepastian implementasi kebijakan nonfiskal, akses teknologi serta kompetensi sumber daya manusia,” katanya.

Meski demikian, menurut Riki,pemerintah telah memberikan sejumlah dukungan yang dibutuhkan untuk pengembangan EBT panas bumi dengan harga jual listrik sesuai keekonomian proyek, mengurangi jumlah dan kerumitan perizinan, memberikan pembiayaan proyek yang lebih murah serta pelaksnaan kebijakan fiskal yang ada.

“Pemerintah juga telah memberikan kemudahan akses lahan operasi, akses ke green fund, pelaksanaan kebijakan nonfiskal, pengelolaan masalah sosial hingga akses teknologi,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Wahyu Winardi, mengatakan pengembangan EBT diyakini akan lebih kompetitif apabila didukung insentif fiskal yang memadai. Insentif EBT juga harus rasional seiring dengan insentif untuk bahan bakar minyak (BBM).

“Salah satu masalah untuk mengembangkan EBT terletak pada aspek fiskal dan nonfiskal,” katanya.

Energi berbasis fosil dalam jangka panjang diprediksi akan habis. EBT pun akan memegang peranan penting bagi upaya elektrifikasi.

Menurut Wahyu, dukungan fiskal tersebut dapat berbentuk bea masuk dibebaskan dan pajak. Saat ini, insentif tersebut baru berlaku untuk panas bumi (geothermal).

Abadi Poernomo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan bahwa harga EBT sudah semestinya terjangkau dan bisa diakses masyarakat secara luas.

“Yang jadi kendala kita adalah affordability-nya. Corporate tax-nya tinggi, sehingga tidak bisa compete dengan pembangkit listrik batu bara,” katanya.

Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya EBT seperti panas bumi, tenaga matahari, dan biodiesel. Yang sudah berhasil diproduksi secara komersial harganya masih lebih mahal dari energi fosil dan batu bara.

Negara-negara maju juga menghadapi hal serupa saat baru mengembangkan EBT, namun kini saat kapasitas terpasangnya mendekati maksimal biaya produksi sudah sama dengan energi fosil. Artinya, contoh terdekat dari pengembangan EBT bisa dilihat dengan kasat mata sehingga tidak terlalu susah bagi negara untuk membuat blueprint pengembangan EBT.

Target bauran energi 2025 porsi EBT sebesar 23 persen, saat ini belum sampai 10 persen. Artinya, terancam gagal tercapai target. Padahal, angka 23 persen itu sudah angka konservatif. (RA)