JAKARTA – Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) hingga kini masih menemui berbagai kendala. Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan Kebijakan Energi Nasional (KEN) menempatkan energi nuklir pada opsi terakhir dalam energi mix di Indonesia, bahkan belum masuk hingga 2025.

Hal ini disebabkan masih banyak perdebatan antara kemampuan menguasai teknologinya yang sangat peka terhadap limbah radiasi, harga energi yang dihasilkan sampai pada uji coba yang belum pernah tuntas. Serta akseptabilitas masyarakat yang masih vulgar menolaknya.

“Kita sering mendengar atau membaca bahwa PLTN masih dispute antara keinginan sejumlah pihak untuk mendukung pemenuhan kebutuhan energi secara nasional dengan kebijakan yang sudah keluar dalam KEN. Karena itulah sampai saat ini belum ada kesimpulan yang tepat termasuk upaya merevisi KEN,” ujar Surya kepada Dunia Energi, Kamis (25/7).

Surya mengungkapkan, di Indonesia sudah pernah ada upaya untuk dibangun PLTN, yakni di Gunung Muria yang diperhitungkan memiliki risiko paling kecil. Namun relaktansi masyarakat demikian besar sehingga belum bisa dilaksanakan.

Pemanfaatan energi nuklir tidak ada hubungan dengan target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025. Target EBT 23% belum termasuk nuklir sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerinta (PP) nomor 79 tahun 2014 tentang KEN. Nuklir disebutkan sebagai opsi terakhir dan masuk dalam target bauran energi pada tahun 2030.

“Namun demikian, mengingat pengalaman untuk mengembangkan pembangkit listrik dari nuklir membutuhkan waktu sampai 10 tahun, tentu saja perlu disiapkan dari saat ini termasuk sosialisasi, kesiapan penerimaan masyarakat, penguasaan teknologi, penanganan limbah radiasi dan sebagainya,” tandas Surya.(RA)