JAKARTA – Pemerintah diminta tetap memprioritaskan industri hulu migas, pasalnya industru hulu migas sampai sekarang dan beberapa tahun ke depan jadi penopang utama perekonomian nasional.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan investasi hulu migas memiliki peran penting terhadap realisasi investasi Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), rata-rata realisasi investasi hulu migas selama 2015-2020 sekitar 26,75% dari total realisasi investasi seluruh sektor ekonomi Indonesia. Bahkan di sektor hilir migas, kenaikan investasi terjadi ketika ada peningkatan investasi di sektor hulu migas.

Selain itu dalam data Kementerian Perdagangan, perekonomian nasional ditunjang 185 sektor industri penunjang dimana 145 diantaranya berhubungan langsung dengan sektor hulu migas. Ini menunjukkan bagaimana industri hulu migas memegang peranan penting dalam perekonomian nasional.

“Oleh karena itu, pemerintah harus hati-hati memberi kebijakan atau perlakukan kepada sektor hulu migas ini,” kata Komaidi dalam diskusi virtual Update Perkembangan Kondisi Lingkungan Politik-Ekonomi Industri Hulu Migas Nasional, Selasa (14/9).

Selain itu dari sisi penerimaan negara dan pajak, kontribusi sektor hulu migas memang sudah menurun dibandingkan periode 1980-1990an. Namun, dalam hal neraca perdagangan, sektor hulu migas memegang peran kunci untuk menjaga stabilitas moneter dan fiskal. Pasalnya, ketika neraca perdagangan migas defisit, hal ini akan berimbas pada neraca perdagangan nasional secara keseluruhan.

“Kalau defisit neraca perdagangan terus membesar tanpa ada perhatian terhadap hulu migas, maka stabilitas rupiah akan bermasalah. Ini akan berdampak ke besaran subsidi per liter BBM (bahan bakar minyak) atau listrik akan naik signifikan,” kata dia.

Untuk itu indonesia memang masih membutuhkan investasi hulu migas untuk memastikan pergerakan ekonomi nasional berjalan dengan baik.

Menurut Komaidi, sejumlah kebijakan yang mendukung sektor hulu migas telah ditempuh pemerintah melalui penerbitan regulasi. Hanya saja, prosedur teknis untuk memperoleh kemudahan atau insentif ini masih berbelit, misalnya terkait perpajakan. Padahal pemerintah mengklaim justru tidak banyak pelaku usaha yang ajukan insentif yang sudah disiapkan tersebut.

Hal itu perlu segera diperbaiki mengingat hanya tersisa 8-9 tahun untuk mengejar target produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 yang telah dicanangkan pemerintah.

“Ini bisa karena prosedur teknis yang tidak sederhana. Maka perlu penyederhanaan kebijakan,” ungkap Komaidi.

Salah satu beleid insentif yang sudah disiapkan adalah Peratura Pemerintah No 27 Tahun 2017 yang mengatur insentif bagi kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) cost recovery dan PP 53/2017 soal insentif PSC gross split. Insentif lain di luar dua regulasi ini adalah tax allowance dan tax holiday.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menuturkan iklim investasi migas nasional saat ini masih perlu perbaikan hal ini disebabkan beberapa faktor Hal tersebut terjadi lantaran bagi hasil, bonus tanda tangan, dan skema fiskal yang ditawarkan ke perusahaan migas masih kalah menarik dari negara lain.

Menurut dia untuk menggairahkan iklim investasi hulu migas nasional, perubahan kebijakan dan regulasi perlu dilakukan. Hal ini utamanya terkait fiskal, seperti pemberian insentif yang fleksibel serta penyesuaian bagi hasil, assume and discharge, ring fencing, Komitmen Kerja Pasti, bonus tanda tangan, dan fasilitas pajak tidak langsung. “Ini tentunya menjadi hal yang lagi digodok,” kata Satya.