JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengusulkan pemerintah untuk membuat aturan baru atau melakukan revisi tentang tata niaga nikel.

Meidy Katrin Lengkey, Sekjen APNI, menyatakan dalam alur penjualan hasil tambang,  para penambang umumnya tidak langsung menjual ke pabrik atau smelter. Mereka harus melalui beberapa trader, baik trader tengah maupun trader ujung (trader di bawah afiliasi smelter). Trader tengah kebanyakan mengcover terlebih dahulu pembelian bijih nikel secara free on board (FOB) dengan pembayaran 80%.  Tetapi, umumnya harganya ditekan oleh mereka. Sisa pembayaran 20% menunggu hasil analisa akhir pihak pembeli atau pihak smelter.

“Dalam dunia perdagangan bijih nikel, tidak pernah menggunakan metode FOB, tetapi dengan CIF (cost, insurance, and freight),” ujar Meidy, Kamis (9/12).

Para penambang, sesuai ketentuan Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 berkewajiban membayar PNBP, royalty, dan PPh. Misalnya, jika transaksi penjualan berdasarkan FOB, setelah ditentukan harga pembelian kemudian penambang  membayar PNBP, royalty, dan PPh untuk diserahkan ke negara.

Sementara metode trading berbasis CIF, untuk mengetahui harga HPM jika melalui beberapa trader ada istilah HPM minus antara 0-US$ 3.

Contohnya untuk nikel kadar 1,8% dengan kadar air 35%  harganya US$ 44. Jika melalui trader, maka HPM-nya akan dikurangi antara US$ 1- US$ 3. Misalnya dipotong US$ 3, harga HPM yang diterima penambang adalah US$ 41 per ton bijih nikel.

Jika penambang melakukan kontrak trading dengan smelter, umumnya berbasis CIF. Pihak smelter hanya memberikan subsidi  0-US$ 3 per ton. Sementara biaya untuk tongkang antara 4, 8, 10, sampai US$ 12 per ton bijih nikel.

“Jika kita ratakan dengan harga tongkang yang harus kami bayarkan, berarti kami harus subsidi antara US$ 4- US$ 6. Katakanlah US$ 6,  jika smelter hanya membayar harga CIF, rumusnya HPM ditambah US$ 3 (angka maksimun), maka kami harus menanggung subsidi lagi sebesar US$ 3 dikurang harga HPM,” paparnya.

Metode trading dengan CIF kendala yang dihadapi para penambang, pertama, mereka harus menanggung subsidi biaya pengiriman atau biaya tongkang. Kedua, terjadi perbedaan hasil analisa, baik di pelabuhan muat maupun di pelabuhan smelter.

“Faktanya, sekitar 90% selalu terjadi perbedaan analisa. Contohnya, hasil dari pelabuhan muat kadar nikelnya 1,8 %, maka mau tidak mau berdasarkan analisa itulah yang harus kami bayarkan ke negara berdasarkan HPM, yaitu untuk membayar royalty maupun pph 1,5%,” urai Meidy.

Di sisi lain, invoice yang disampaikan kepada pihak pembeli (smelter), jika analisa terjadi penurunan kadar, misalnya hasil kadarnya  1,29%, maka invoice yang disampaikan penjual adalah di kadar 1,29%, bukan di kadar 1,8%.

“Artinya, terjadi finalty penurunan nilai atau angka penjualan kami yang cukup sigfinikan,” ujarnya.

Menurut Meidy hingga tahun 2021 ada 11 perusahaan surveyor yang sudah mendapat izin jasa survey dari Kementerian Perdagangan. Jadi, penambang yang ingin menjual komoditas nikel dapat memilih di antara 11 surveyor untuk melakukan jasa analisa di pelabuhan muat.

Tetapi, di pelabuhan bongkar atau di pelabuhan smelter, mayoritas dilakukan oleh salah satu jasa surveyor. Dari hasil analisa perusahaan jasa surveyor ini kadang terjadi perbedaan kadar bijih nikel maupun stuktur mineral yang lain. Kondisi ini membuat para penambang menanggung kerugian.

“Sampai Oktober 2021 sudah terjadi sekitar 5.542 kontrak trading. Kontrak tersebut tersebar di beberapa surveyor. Bisa dibayangkan jika kontrak itu ditampung sendiri oleh salah satu perusahaan jasa surveyodi pelabuhan bongkar, apakah mampu kapasitas laboratarium dan SDM-nya?” ungkap Meidy. (RI)

Ada 11 poin usulan APNI untuk pemerintah, yaitu:

  1. Semakin bertambahnya perusahaan smelter yang beroperasi, maka untuk menjaga ketersediaan cadangan dan optimalisasi bijih nikel kadar rendah, diperlukan pembatasan kadar bijih nikel yang diizinkan untuk diperjualbelikan maksimal 1,8%.
  2. Kementerian ESDM dan Satgas HPM untuk segera menyusun harga patokan untuk bijih nikel lemonite (low grade).
  3. Memperhitungkan mineral lainnya yang terkandung dalam bijih nikel, yaitu kobalt.
  4. Harga yang diterapkan sesuai dengan HPM yang tertuang dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2020, dan memberlakukan harga HPM jika terjadi finalty penurunan kadar.
  5. Diberlakukan penjualan transaksi bijih nikel yang sesuai dengan Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 yaitu berbasis FOB.
  6. Seluruh perusahaan jasa surveyor untuk dilakukan SNI dengan mengacu pada satu metode sampling dan pengujian hasil analisa.
  7. Difungsikannya surveyor wasit atau umpire untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, jika terjadi dispute perbedaan hasil analisa.
  8. Untuk menghindari monopoli disarankan kepada smelter untuk menggunakan 11 surveyor terdaftar secara merata agar hasil analisis lebih cepat dapat diperoleh.
  9. Dioptimalkan kerja-kerja Satgas HPM dalam pengawasan di lapangan dengan mengikutsertakan APNI sebagai laporan langsung di lapangan.
  10. Kebutuhan akan bijih nikel untuk HPAL dengan syarat spesifikasi yang ditentukan oleh pabrik, dikhawatirkan tidak akan terakomodir maksimal oleh penambang, dikarenakan syarat MGO. Kondisi yang sama saat ini untuk kebutuhan Pirometalurgi kebutuhan akan saprolite bijih nikel kadar yang tinggi, yaitu di atas 1,8% dengan syarat SiO/MgO 2,5.
  11. Dilakukan eksplorasi detail untuk seluruh wilayah pertambangan, sehingga didapatkan data sumber daya dan cadangan nikel yang akurat untuk menunjang kebutuhan bahan baku smelter yang semakin banyak berdiri di Indonesia.