JAKARTA – Menjelang berakhirnya kontrak PT Freeport Indonesia pada 2021 dan tengah berlangsungnya negosiasi perpanjangan kontrak dengan pemerintah, produksi tambang Grasberg yang dikelola anak usaha Freeport-McMoRan Inc tersebut tidak optimal.

Bambang Susigit, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan rata-rata produksi Freeport memasuki masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, sehingga membuat produksi tidak optimal.

Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mencatat rata-rata produksi sejak 2014 sampai 2017 mencapai 240 ribu ton tembaga per hari, namun sejak tahun ini produksi tidak sampai 200 ribu ton per hari.

“Sekarang 180 ribu ton – 186 ribu ton, kan tambang terbuka sudah mulai turun, alat-alat sudah mulai setop. Kini sudah mulai masuk ke development tambang dalam (bawah tanah),” ujar Bambang di Jakarta, Senin (17/9).

Pekerja mengecek tambang bawah Freeport Indonesia.

Dia mengatakan hampir setengah dari produksi rata-rata Freeport 2018 sudah berasal dari tambang bawah tanah. Dari rata-rata 180 ribu-186 ribu ton, sekitar 90 ribu-100 ribu ton berasal dari open pit. Sisanya underground,” ungkap Bambang.

Pada 2019, produksi Freeport akan fokus ke tambang bawah tanah. Namun produksi diproyeksikan tetap akan turun hingga 2021.

Dalam perencanaan, Freeport boleh saja mematok tetap 240 ribu ton. Tapi harus diakui sampai sekarang saja realisasi masih dibawah target

Bambang mengingatkan bahwa melihat tambang jangan hanya melihat volume, tapi juga kualitas mineral yang ditambang.

Jika gradenya (kadar logam) rendah, maka dibutuhkan volume lebih besar. Untuk mencapai target peningkatan revenue, kadar yang tinggi yang perlu digali, sehingga tonase jadi kecil.

“Tapi kalau tonase kecil, hasil logam kecil, pasti ada surat teguran dari pemerintah karena ada RKAB. Sekarang logam masih tercapai, masih tinggi, karena dia ambil 0,8 (kadarnya),” kata Bambang.

Tidak optimalnya produksi Freeport diperkirakan akan bertahan hingga paling tidak empat tahun kedepan. Baru kemudian ketika semua segala urusan transisi selesai produksi dari tambang bawah tanahnya Freeport baru bisa optimal.

“Pada 2022 sampai dengan 2023 baru bisa full (optimal) lagi produksinya,” tukas Bambang.

Evaluasi Smelter

Pemerintah juga telah menerima perkembangan pembangunan smelter Freeport sebagai syarat mendapatkan izin ekspor konsentrat. Namun besaran progress masih belum terlihat lantaran belum selesainya verifikasi oleh tim verifikator.

Bambang mengakui ada kendala dalam implementasi verifikasi pembangunan smelter karena tidak sebanding jumlah perusahaan yang akan diverifikasi dengan jumlah perusahaan yang melakukan verifikasi.

“Baru mengajukan (Freeport), dari surveyornya baru selesai. Ini kendala sekarang, Surveyor ada tiga, perusahaan ada 48, yang ekspor ada 33, pilihan hanya tiga surveyor itu,” papar Bambang.

Pemerintah kata Bambang tidak bisa memaksa penyelesaian verifikasi. Selain itu sebagai kompensasi terhadap perusahaam yang sudah mengajukan namun harus menunhhu giliran verifikasi pemerintah menetapkan harga atau biaya untuk melakukan verifikasi disamaratakan sejak dua minggu lalu. Biayanya ditetapkan Rp 350 juta – Rp 400 juta untuk sekali verifikasi.

Ketetapan itu sendiri dikeluarkan lantaran banyak perusahaan yang mengadu tingginya biaya verifikasi. Padahal metode dan waktu yang diperlukan sama.

“Harga tidak boleh lebih mahal itu karena dia juga kayak orang dagang, makin banyak makin mahal. Kami buat patokan kemarin Rp 350 juta – Rp 400 juta per evaluasi, dua minggu lalu masih ada yang cerita bayar Rp 900 juta,” tandas Bambang.(RI)