JAKARTA – Bisnis gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia tengah menjadi sorotan lantaran baru saja kehilangan salah satu kontrak jual beli LNG penting yakni Western Buyer Extention (WBX) yang memutuskan tidak memperpanjang kontraknya yang habis pada tahun ini. Kontrak dengan WBX merupakan salah satu kontrak LNG terbesar yang dibuat oleh Indonesia, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Kini berbagai pihak menerka-nerka seperti apa masa depan bisnis LNG Indonesia setelah ditinggal salah satu pembeli terbesarnya di tengah berbagai ketidakpastian berbagai indikator ekonomi seperti sekarang ini.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan harus diakui situasi pasar LNG global sudah lima tahun terakhir cenderung oversupply sehingga harga tertekan. Selain itu, saat ini  sudah banyak sumber pasokan di luar yang memberikan harga jual lebih murah, seperti dari Australia, Qatar, Malaysia, termasuk juga dari Amerika Serikat dengan kelebihan produksi shale gas.

“Situasi ini kemungkinan masih akan berlangsung 2-3 tahun ke depan. Bisa juga lebih lama karena diperparah demand yang makin turun karena pandemi covid,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Rabu (16/9).

Menurut Pri Agung, wajar sekali keputusan pembeli dari Jepang (WBX) tidak melanjutkan kontrak pembelian LNG dari kilang Bontang. Nasib proyek LNG nasional ke depan akan sangat bergantung kepada bagaimana kepiawaian para pengambil kebijakan di tanah air (pemerintah) di dalam bagaimana bisa mencari market dan mendapatkan pembelinya.

Agar LNG Indonesia diminati oleh konsumen maka harga yang kompetitif bisa jadi solusi.

“Untuk membuat harga kompetitif, salah satu opsi yang bisa diambil adalah dengan mengurangi porsi bagian negara di dalam komponen harga jual gas atau LNG kita,”  kata Pri Agung.

Dia pun mengingatkan bahwa yang perlu diutamakan dari Proyek gas atau LNG adalah bagaimana agar proyek itu tetap berjalan, sehingga investasi mengalir masuk dan ujungnya mampu menimbulkan multiplier effect ekonomi. “Jadi bukan lagi penerimaan negara langsung yang diutamakan. Insentif fiskal juga perlu diperluas, misal pembebasan PPn, PBB, bea masuk impor, dan pajak-pajak tidak langsung ataupun retribusi daerah,” ungkapnya.

Selain itu, pasar domestik juga jangan sampai dilupakan dan perlu dimaksimalkan. Hanya saja menurut Pri Agung, lagi-lagi kuncinya memang di harga jual LNG. Jadi baik pasar luar maupun domestik, salah satu syarat untuk bisa mendapatkan pembeli LNG adalah harganya harus lebih kompetitif. “Jadi, semua effort perlu lebih difokuskan untuk ke arah itu,” kata Pri Agung.(RI)