JAKARTA – Strategi bisnis PT Pertamina (Persero) berpotensi terkena dampak kasus hukum yang membelit Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawan. Apalagi Karen dijerat kasus akuisisi blok minyak dan gas yang menjadi salah satu strategi utama Pertamina di sektor hulu migas. Karen pada Senin (24/9) resmi ditahan Kejaksaan Agung.

“Pasti (berdampak ke Pertamina). Pertamina harus hati-hati dan cermat. Pedoman investasi disusun agar setiap kebijakan itu aman. Begitu pula dengan persetujuan dewan komisaris dalam rangka memastikan bahwa rencana kebijakan itu akuntabel, transparan, dan teruji sahih karena berdasarkan persetujuan dewan komisaris, sehingga rencana kebijakan pun aman,” kata Ahmad Redi, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam yang juga Staf Pengajar Fakuktas Hukum Universitas Tarumanegara kepada Dunia Energi, Rabu (26/9).

Menurut Redi, tindakan Karen yang saat itu memutuskan menyetujui aksi korporasi Pertamina atas akuisisi atau pembelian sebagian aset milik ROC Oil Company Ltd di blok Basker Manta Gummy Australia harus dipastikan, apakah benar telah dilakukan sesuai pedoman investasi. Telah melalui studi kelayakan terlebih dahulu, serta melalui persetujuan dewan komisaris Pertamina.

Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawan.

Apabila prosedur kerja di atas tidak dilakukan, tentu itu akan menjadi masalah hukum karena setiap kebijakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus dilakukan dengan prinsip due diligence, kehati-hatian, dan kecermatan.

“Jika tindakan itu kemudian merugikan keuangan negara, maka akan menjadi masalah tindak pidana karena ada kerugian negara yang ditimbulkan. Apabila kerugian negara ini disebabkan oleh ketidak-hati-hatian, ketidakcermatan, dan tanpa uji tuntas (due diligence),” ungkap dia.

Redi melanjutkan bahwa aksi korporasi merupakan hal biasa dalam BUMN, namun setiap aksi korporasi harus berlandaskan prinsip Good Corporate Governance (GCG), seperti tidak ada conflict interest, independent, due dilligence, good faith, accountable, transparancy, dan procedure maka aksi korporasi itu bisa saja aman, walaupun ada kerugian maka hal ini dapat dibenarkan.

Namun, bila kebijakan itu tanpa ada langkah-langkah seperti feasibility study dan persetujuan dewan komisaris maka ini dapat menjadi indikasi aksi korporasi dapat saja tidak sesuai GCG.
Menurut Redi, manfaat feasibility study jelas untuk menghitung kelayakan sebuah investasi, sehingga apabila tahapan ini terlewati maka jaminan kelayakan sebuah rencana investasi pun tidak ada, yang tentu risikonya sangat besar.

“Ini saja dapat menjadi dasar bahwa rencana kebijakan ini berisiko dan berpotensi merugikan keuangan negara,” kata dia.

Adiatma Sardjito, Vice President Corporate Communication Pertamina, hingga Rabu, belum bisa dimintai keterangan dampak dan posisi Pertamina terhadap kasus Karen. Selain Karen, mantan direktur keuangan Pertamina, Frederick Siahaan sebelumnya telah lebih dulu ditahan Kejaksaan Agung pada kasus yang sama.

Kasus bermula saat Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melakukan akuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.

Kantor Pusat Pertamina.

Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).

Namun ternyata Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasannya blok tersebut tidak ekonomis jika diteruskan produksi.

Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.

Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan dewan komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.

Disisi lain, Karen mangaku masih tidak mengerti dengan penetapan dirinya sebagai tersangka. Melalui kuasa hukumnya, Susilo Ari Wibowo, Karen menyebut investasi yang dilakukan Pertamina bukanlah suatu tindak pidana.

“Saya melihat ini sebenarnya bukan ranah pidana, sekalipun menimbulkan kerugian negara. Kan tidak harus ada kerugian negara ada tindak pidana nanti dulu,” kata Susilo saat dikonfirmasi.

Menurut Susilo, apa yang dilakukan Karen sudah melalui prosedur di Pertamina. Pernyataan penyidik yang menyebut investasi yang dilakukan Karen tidak seizin komisaris bukanlah tindak pidana. Ada prosedur berdasarkan peraturan korporasi yang bisa diambil.

“Penyidik menduga bahwa itu tidak izin dewan komisaris untuk investasi. Itu ranahnya pun bukan ranah pidana. Komisaris kan bisa juga memberhentikan sementara,” kata dia.

Penuh Pertimbangan

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan proses akuisisi blok migas harus dilakukan dengan proses panjang dan penuh pertimbangan agar tidak menjadi masalah dikemudian hari.

Secara teknis lapangan migas harus diketahui cadangan dan harus sudah disertifikasi. Jika lapangan produksi, maka harus diketahui rekam jejak produksinya. “Kita harus mengerti bahwa maksimum dari cadangan itu yang bisa diproduksi. Kita kira-kira harus punya keyakinan itu 40%. Satu cadangan dan sertifikat, terus berapa lama produksi dan terus produksi terakhir berapa, liat tekanannya berapa,” ungkap Djoko.

Tidak hanya itu, setelah sudah diketahui rekam jejak lapangan selanjutnya harus juga diketahui tekanan reservoir, apakah tekanannya masih primary production atau sudah secondary produksi. Ini tidak bisa berdasarkan hanya sekadar dokumen dan data, tapi harus langsung dilakukan pengecekan di lapangan.

Apabila memang rencana akuisisi blok migas di luar negeri maka perlu menambah proses pembahasan karena harus didetailkan bersama tim di dalam negeri.
“Harus dicek ke lapangan diukur langsung. Masing-masing sumurnya, begitu sudah firm, dibahas di dalam negeri oleh tim. Jika sudah dapat approve dari manajemen, kalau ini oke, firm jalan,” tandas Djoko.(RI)