JAKARTA – Setelah bergulir lebih dari enam bulan, transformasi menjadi holding PT Pertamina (Persero) tidak menunjukkan efisiensi yang ditargetkan. Justru kondisi sebaliknya atau inefisiensi yang berujung kerugian berpotensi besar terjadi.

Harry Poernomo, mantan Direktur Hilir Pertamina, mengatakan efisiensi yang dikejar perusahaan dengan bentuk holding tidak terlihat hingga kini. Dia memaklumi transformasi Pertamina butuh waktu tapi kondisi sekarang justru bisa dilihat ternyata terdapat celah-celah beban dan kerugian akibat inefisiensi operasional terutama untuk bisnis hilir Pertamina.

“Sementara yang pasti proses bisnis hilir menjadi tidak efisien karena produksi (kilang), transportasi ( shipping) dan distribusi atau pemasaran tidak terintegrasi. Celakanya ketiga bidang tersebut masing-masing merupakan ‘perusahaan mandiri’ yang tentunya masing-masing punya ukuran kinerja sendiri-sendiri yang bisa bertentangan,” kata Harry kepada Dunia Energi, Minggu (17/1).

Harry mencontohkan harga BBM eks kilang Pertamina lebih mahal dibandingkan impor. Jika yang diincar adalah efisiensi subholding pemasaran lebih efisien jika impor BBM tidak perlu beli BBM hasil produksi eks kilang.

“Hal yang sama terjadi di biaya angkutan kapal. Jelas lebih murah tarif swasta lain dari pada menggunakan kapal subholding shipping,” ungkap Harry.

Kondisi ini menurut Harry harus diatasi karena sub holding pemasaran tidak bisa efisien karena harus beli BBM dan biaya angkutan yang mahal.

“Alhasil tujuan membentuk holding justru akan mempersulit kinerja pertamina secara korporasi ( induk holding),” kata Harry.

Contoh lain lanjut Harry di subholding kilang yang memproduksi petrokimia juga memiliki wewenang untuk menjual sendiri produk-produknya. Sedangkan di subholding pemasaran juga ada fungsi petrokimia yang tupoksinya juga menjual atau memasarkan produksi petrokimia Pertamina. Hal tersebut tentu jadi janggal lantaran akan timbul persaingam antar afiliasi Pertamina. Akhirnya membuat peran salah satu subholding tidak optimal. Tujuan efisiensi membentuk holding company akan gagal.

“Pasti kondisi tersebut akan saling “rebutan dan adu kuat ego” antar subholding untuk memasarkannya,” ungkap Harry.

Harusnya menurut Harry untuk sektor hilir cukup dijadikan satu subholding hilir yakni kilang, perkapalan dan pemasaran. “Jadi biar hulu saja yang subholding terpisah atau mandiri,” tegas Harry. (RI)