JAKARTA – Bentuk holding PT Pertamina (Persero) hingga kini dinilai masih belum menunjukkan target efisiensi segala lini yang dicita-citakan. Pada implementasinya holding justru menambah beban, terutama terjadi di level bawah.

Harry Poernomo, mantan Direktur Hilir Pertamina 2003-2004, mengungkapkan inefisiensi holding terlihat jelas di bisnis hilir Pertamina. Bentuk holding yang dibanggakan pemegang saham lebih efisien karena memangkas jumlah direksi lebih sedikit, hal ini sama sekali tidak benar karena justru jabatan direksi dan komisaris bahkan bertambah banyak.

“Tiap subholding punya direksi minimal empat orang dan komisaris empat orang padahal ada lima subholding,” kata Harry kepada Dunia Energi, Selasa (19/1).

Harry menilai meskipun statusnya direksi dan komisaris subholding, tapi fasilitasnya praktis sama dengan direksi dan komisaris holding atau korporat (gaji dan benefit lainnya). “Jadi efisiensi jumlah direksi seperti yang dijelaskan oleh pemegang saham juga tidak benar sama sekali,” ungkap Harry.

Tidak efisien dan efektifnya skema holding diterapkan pada bisnis hilir Pertamina sangat terasa di level operasional bawah.

Harry menceritakan mendapat kesaksian langsung internal Pertamina tidak efisiennya skema holding ini salah satunya adalah legalitas yang berkaitan dengan hubungan agen-agen LPG dan Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU). Semula para agen berhubungan dengan Pertamina, sekarang harus berubah menjadi subholding Patra Niaga, sehingga kontrak-kontrak keagenan harus diamendemen.

Baca juga  Mantan Direktur Pertamina : Subholding Tidak Efisien dan Akibatkan Persaingan Anak Perusahaan

Harry menegaskan kondisi tersebut memang masalah sangat teknis, tapi faktanya menuntut upaya perubahan status hukum yang tidak mudah. Akhirnya justru membuat kendala operasional. “Keluhan-keluhan seperti itu justru saya peroleh dari internal Pertamina sendiri,” ujar Harry

Menurut dia, bentuk holding (organisasi) memang tidak ada benar atau salah karena organisasi hanya sebagai alat, semua tergantung pemahaman personilnya, apakah mamahami visi misi korporat atau tidak, apakah personil bisa kerjasama dalam satu kesatuan visi dan misi atau tidak.

“Masalahnya budaya kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita itu sangat sulit bersinergi ataupun koordinasi,” kata Harry.

Sehingga menurutnya dengan bentuk organisasi holding subholding, khususnya untuk bidang hilir akan mengakibatkan rantai pasok hilir ( supply chain ) menjadi terganggu tidak padu karena terpisah menjadi “ tiga sub holding” sehingga rawan terjadi hambatan.

“Padahal tugas pokok Pertamina justru di hilir untuk pemenuhan BBM dan gas dalam negeri,” kata Harry.(RI)