JAKARTA – Mandatori pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mengamanatkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2020-2045 sebesar 23%, dapat memberikan peluang bagi para pelaku energi biofuel nasional untuk meningkatkan produksi Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel . Namun, program energi biodiesel sulit untuk ditingkatkan ke tingkat lebih besar karena keterbatasan dana insentif crude palm oil (CPO).

“Untuk itu, diperlukan adanya pengaturan tempo implementasi program energi biofuel nasional, di antaranya melalui dukungan aktivitas penelitian dan pengembangan dalam mewujudkan keberlanjutan program biodiesel saat ini,” ungkap Anugerah Yuka Asmara, Manajemen Iptek dan Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa (19/1).

Yuka mengatakan, LIPI melalui Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi telah merilis rumusan strategi kebijakan energi biodiesel yang diterbitkan dalam Policy Brief Kebijakan dan Manajemen Iptek & Inovasi LIPI No. 2020-01. P2KMI, dengan judul “Strategi Kebijakan Energi Biodiesel Indonesia di Tahun 2020-2045”.

Penelitian pada 2020 oleh tim peneliti LIPI ini merupakan studi kasus dengan fokus pada identifikasi dan analisis aktor serta relasinya dalam pengembangan energi biodiesel di Indonesia.

Survei kepada narasumber utama berasal dari akademisi, pemerintah, entitas bisnis, dan juga asosiasi yang terlibat aktif dalam produksi energi biodiesel dan perumusan kebijakan terkait pemanfaatan energi biodiesel di Indonesia.

Penelitian ini berhasil merumuskan empat rekomendasi untuk strategi kebijakan energi biodiesel Indonesia pada 2020-2045.

“Keempat rekomendasi untuk kebijakan energi biodiesel ini, ditujukan kepada pemangku kepentingan, terutama untuk Direktorat Bioenergi-Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujar Yuka.

Rekomendasi kebijakan ini juga melibatkan pemangku kepentingan lain terkait yang antara lain Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS); Kementerian Pertanian; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN); Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Ristek/BRIN.

“Keempat rekomendasi tertuang dalam Policy Brief yang merupakan naskah kebijakan singkat sebagai saran kebijakan untuk bahan pertimbangan yang didasarkan dari bukti ilmiah, dan ditujukan sebagai media komunikasi dari tim peneliti kepada pemangku kepentingan terkait,” kata Yuka.

Menurut Yuka, rekomendasi pertama dari evaluasi pelaksanaan kebijakan biodiesel B10, B20, dan B30 ditentukan dari kontribusi bauran energi yang dihasilkan dan besaran biaya yang ditetapkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dia mengatakan, keberhasilan B30 yang rilis Januari 2020, menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara di dunia yang pertama kali melakukan campuran biodiesel bahan bakar nabati berbasis crude palm oil (CPO). Hasil evaluasi ini dapat digunakan sebagai bukti dalam penetapan rencana kebijakan B40 dan B50 di masa mendatang.

Sementara, ketersediaan CPO dalam negeri terus bertambah, seiring dengan kebutuhan yang terus meningkat. Untuk Indonesia, ketersediaan CPO sangat menggembirakan karena termasuk penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dengan jumlah panen melimpah sejak 2008.

“Ini mendasari usulan rekomendasi kedua, yaitu Pembangunan Perkebunan Energi crude palm oil (CPO) secara masif, sebagai bahan baku Green Diesel, Green Gasoline, Green Avtur, dan Green LPG,” ujar Yuka.

Budi Triyono, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi LIPI, mengatakan langkah usulan rekomendasi ketiga perlu merumuskan beberapa kebijakan merancang Kilang Green Fuel yang dapat mengolah minyak sawit menjadi Green Diesel, Green Gasoline ,Green Avtur dan Green LPG. Di sisi lain diperlukan juga untuk mendorong penelitian bibit unggul minyak pangam, minyak nyamplung, minyak kemiri sunan, dan lain lain.

“Hal ini ditujukan untuk menghindari pembukaan perkebunan kelapa sawit yang lebih meluas lagi,” kata Budi.

Sedangkan rekomendasi keempat, bagi para pemangku kepentingan secara bersama, dapat menciptakan inovasi green fuel buatan dalam negeri.

“Direktorat Bioenergi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM perlu mengatur tempo, agar pembuatan perkebunan energi dan pengembangan teknologi green fuel bisa berjalan beriringan, sehingga ekosistem inovasi energi biodiesel dapat terbentuk,” tandas Budi.(RA)