Karen Agustiawan (Foto/Dunia-Energi/Rio Indrawan)

JAKARTA – Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dinilai bisa menjadi salah satu alat bukti yang digunakan dan dipertimbangkan majelis hakim dalam kasus Karen Agustiawan. Karen, Direktur Utama PT Pertamina (Persero)  2009-2014, melalui kuasa hukumnya menyatakan  berdasarkan laporan BPK terhadap Pertamina, akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia tidak dianggap merugikan perusahaan, apalagi tindakan korupsi.

“Laporan BPK dapat dijadikan bukti hukum Karen bahwa tidak ada kerugian negara dalam aksi korporasi yang dilakukan dalam investasi Blok BMG,” kata Ahmad Redi, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara saat dihubungi Dunia Energi, Jumat (8/2).

Menurut Redi, Kejaksaan Agung menyangkakan adanya penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Sangkaan tersebut dilandasi pengambilan keputusan investasi tanpa didukung studi kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir.

Direksi Pertamina saat itu dibawah Karen sebagai direktur utama mengambil keputusan tanpa persetujuan dewan komisaris. Secara hukum aksi korporasi tanpa feasibility study dan tanpa persetujuan dewan komisaris memang tidak dapat dibenarkan.

Menurut Redi, dalam kasus Karen  tetap harus ada unsur tindak pidana yang dilakukan, sehingga yang bersangkutan dapat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Harus dibuktikan dulu adanya mean rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan dilarang),” katanya.

Soesilo Ariwibowo, kuasa hukum Karen, sebelumnya mengatakan berkaitan dengan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara sudah ada dasar hukumnya sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya disebut “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004”). Di dalam Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan, bahwa yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negera adalah BPK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 huruf E UUD 1945, yang berwenang untuk menyatakan ada kerugian keuangan negara hanyalah BPK. Hal itu merupakan hak konstitusional dari BPK.

Menurut Soesilo, hingga saat ini BPK belum pernah mengeluarkan pernyataan atau men-declare bahwa dalam investasi PT Pertamina (Persero) berupa pembelian 10% hak partisipasi Blok BMG pada 2009 telah menimbulkan kerugian negara. Selain itu, di dalam investasi yang sama di  2009, BPK telah melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan laporan pemeriksaannya.

“Bahkan di dalam hasil laporannya, BPK menyatakan tidak ada temuan alias tidak menyatakan adanya kerugian keuangan negara di dalam investasi tersebut,” tegas Soesilo.

Disisi lain, jaksa penuntut umum menggunakan laporan dari Laporan Perhitungan Keuangan Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Soewarno,sebagai dasar dugaan adanya tindak pidana korupsi oleh Karen.

Menurutnya Soesilo dnegan adanya kenyataan itu dimana surat dakwaan yang hanya mempertimbangkan laporan dari KAP dan mengesampingkan laporan hasil audit dari BPK merupakan suatu dakwaan yang tidak cermat.

Berdasarkan analisa tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Penuntut Umum di dalam Surat dakwaan tentang adanya kerugian keuangan negara dalam kegiatan investasi atas Lapangan atau Blok BMG Australia Tahun 2009 merupakan pendapat yang tidak cermat karena pelaksanaan perikatan dalam pelaksanaan Perikatan Dengan Prosedur Yang Disepakati bukan merupakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara.

“Serta Laporan Akuntan Publik yang menjadi dasar pendapat Penuntut Umum tidak pernah dan tidak berwenang menyatakan pendapat,” tandas Soesilo.

Pada 2009 Pertamina mengakuisisi saham sebesar 10% terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG. Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta.

Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).

Namun Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 bph. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan blok tidak ekonomis jika diteruskan produksi.

Investasi yang sudah dilakukan Pertamina dinilai tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.

Hasil penyidikan Kejagung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence. Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan dewan komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara dari Pertamina sebesar US$31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp568 miliar.(RI)