JAKARTA– Pemerintah diminta jangan terlalu fokus semata pada penyediaan bahan bakar minyak (BBM) Satu Harga di seluruh Tanah Air, tapi mengabaikan penyediaan bahan bakar ramah lingkungan seperti gas untuk masyarakat dan industri. Achmad Widjaja, pengamat gas, mengatakan konversi BBM ke gas LPG 3 kg yang sukses di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejatinya diteruskan dengan konversi BBM ke gas untuk industri oleh pemerintahan Jokowi.

“Upaya ini belum ada titik terang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum melakukan terobosan. Pemerintah lebih mementingkan BBM (premium dan solar) daripada gas sedangkan seluruh dunia sudah go green dan program emisi jelas tertarget,” ujar Achmad, yang juga Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, kepada Dunia-Energi, Sabtu (30/12).

Achmad Widjaja, Pengamat Gas

Menurut Widjaja, Indonesia memiliki cadangan gas yang melimpah dibandingkan minyak bumi. Berdasarkan data Ditjen Migas Kementerian ESDM, Per Januari 201, cadangan gas bumi Indonesia mencapai 144,06 trilion cubic feet (TCF), terdiri atas cadangan terbukti mencapai 101,22 TCF dan potensial 42,84 TCF. Cadangan tersebut akan habis dalam 48 tahun, jika asumsi tingkat produksi gas per tahun mencapai 3 TCF. Namun, jumlah itu baru 12,3 persen dari total perkiraan cadangan gas bumi nasional.

Widjaja menyarankan pemerintah sesegera mungkin meyetop impor BBM, terutama solar, agar seluruh industri nasional masuk ke arena go green matching dengan program dunia. “Solar lebih bagus diekspor untuk devisa negara,” katanya.

Pemerintah, lanjut Widjaja, wajib memberi kepastian dan kejelasan serta ketegasan tentang energi di bidang gas alam dan gas alam cair untuk industrik, termasuk kewajiban penggunaan gas oleh pembangkit listrik. Hal ini bertujuan agar industri nasional bisa membaut rencana jangka panjang. “Saat ini semua dalam koridor jangka pendek. Hit and run saha sehingga tidak ada saya saing,” katanya.

Pembentukan holding BUMN Migas, menurut Widjaja, adalah momentum yang tepat agar pemerintah juga ikut fokus mengimplementasikan konversi BBM ke gas untuk industri. Apalagi, pemanfaatan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terus naik sejak 2013. Naiknya permintaan gas dalam negeri dan menurunnya komitmen penyaluran gas ekspor menjadi penyebab naiknya pemanfaatan gas di Tanah Air. Sejak 2013—2015, pertumbuhan pemanfaatan gas domestik sebesar 9%.

Dari data SKK Migas per Juni 2017, tren ekspor gas kini lebih rendah dibandingkan dengan 2010 dan 2011. Pada 2010, proporsi ekspor masih 4.336 billion British thermal unit per day (BBtud) dan domestik sebesar 3.379 BBtud. Pada 2011, kendati volume total penyalurannya lebih kecil, porsi ekspor masih dominan , yaitu 4.078 BBtud dan domestik 3.276 BBtud. Pada 2012, selisih porsi ekspor dan domestik semakin tipis, yakni hanya sebesar 81 Bbtud dengan rincian ekspor sebesar 3.631 BBtud dan domestik 3.550 BBtud.

Porsi pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik lebih besar dibandingkan ekspor mulai terjadi pada 2013, yaitu domestic 3.703 BBtud dan ekspor 3.402 BBtud.

Tren peningkatan pemanfaatan gas domestik dipengaruhi  seperti terminal regasifikasi Nusantara Regas, onstream-nya beberapa lapangan gas baru.

Dari sisi konsumen, pemakai gas pipa didominasi sektor industri dan ketenagalistrikan. Dari data SKK Migas, porsi industri sebesar 23,53% dengan volume terkontrak 1.758,1 BBtud dan ketenagalistrikan 13,67% dengan volume terkontrak sebesar 1.158,4 BBtud.

Kebutuhan Meningkat
Sementara itu, Kementerian Perindustrian memproyeksikan kebutuhan gas untuk sektor industri sebesar 35 persen pada 2018. Kebutuhan terhadap gas akan terus meningkat seiring peningkatan proyeksi pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 5,67 persen tahun depan.

Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, mengatakan kontribusi kebutuhan gas untuk sektor industri tahun lalu mencapai lebih dari 30 persen dibandingkan keseluruhan kebutuhan energi. Gas menjadi komoditas yang banyak dibutuhkan industri untuk mensuplai energi serta sebagai bahan baku.

Meski industri membutuhkan gas dalam jumlah yang besar, beberapa daerah masih mengalami masalah pasokan gas yang kurang. “Kami tengah mencari opsi-opsi yang lain, salah satunya dari beberapa rantai, dipotong atau dikurangi biaya-biayanya,” jelasnya.

Sektor industri menyerap 30,88 dari total kebutuhan energi secara nasional. Dari jumlah tersebut, sebesar 70 persen dikonsumsi oleh industri lahap energi, seperti pupuk dan petrokimia, pulp dan kertas, tekstil dan produk tekstil, semen, baja, keramik, kelapa sawit, dan makan dan minuman.

Pada 2016 kebutuhan energi sektor industri mencapai 420,35 juta setara barel minyak (SBM). Dari jumlah tersebut, gas menyumbang 142,07 juta SBM atau 33,79 persen dari total kebutuhan, sedangkan kebutuhan batu bara sebesar 169,64 juta SBM atau 40,35 persen.

Dalam satuan MMBtu, tahun ini diperkirakan kebutuhan gas industri berada di angka 829.338,2 MMBtu dan diproyeksikan naik menjadi 867.071 MMBtu pada 2018. Industri pupuk, kimia, dan barang dari karet menjadi sektor yang paling besar menyerap gas dan disusul oleh industri semen dan bahan galian nonlogam. (DR)