JAKARTA – Kementrian ESDM resmi melarang kegiatan ekspor batubara mulai 1 -31 Januari 2022. Kebijakan ini merupakan buntut dari laporan Direksi PT PLN (Persero) terkait kelangkaan pasokan batubara untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan bahwa tahun ini memberikan pelajaran lagi bagi pola penggunaan energi di Indonesia. Tentu saja pelajaran ini harus dijadikan momentum bagi pengembangan energi terbarukan.

“Indonesia sangat sering melakukan tindakan yang sifatnya juratif jangka pendek dalam mengatasi krisis energi. Sebetulnya UU Energi sudah mengamanahkan Dewan Energi Nasional (DEN) dan pemerintah menyusun skenario darurat energi. Tidak seperti pemahaman kebakaran yang jika terjadi kebakaran baru bekerja. Hal ini sudah sangat sering terjadi di Indonesia,” kata Surya Darma, kepada Dunia Energi, Rabu(12/1).

Ia menekankan hal ini tidak boleh terus terulang. UU Energi juga sudah mengamanahkan dalam PP 79 Tahun 2014 untuk melaksanakan transisi energi jika diterjemahkan dalam bahasa sekarang.
“Tetapi itulah, kelihatannya tidak serius. Nah, dengan melihat gonjang ganjing krisis batubara untuk kebutuhan PLN saat ini, tentu saja memberikan sebuah warning yang kuat agar kita segera menyiapkan skenario transformasi penggunaan ke energi terbarukan sebagaimana amanah UU Energi,” ujar Surya Darma.

Menurut dia, skenario transisi energi minimal sesuai dengan target Kebijakan Energi Nasional (KEN), energi terbarukan 23% tahun 2025 dan 31% tahun 2050. Meskipun jika ingin memenuhi target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, maka target itu belum tentu cukup. Skenario ini menjadi penting agar tidak terjebak dalam sebuah tataran yang secara tiba-tiba akan mengalami krisis kembali.

Surya Darma menyampaikan bahwa harmonisasi antara penyiapan pembangkit energi terbarukan dan penurunan penggunaan energi yang hanya bergantung pada PLTU akan membawa krisis baru jika tidak dipersiapkan dengan matang. Sebagaimana karakteristik energi terbarukan yang memerlukan waktu untuk menyiapkannya, maka kondisi pengembangan energi terbarukan harus dipahami dengan benar.
Dalam hal ini, sarana dan infrastruktur serta regulasi yang mendukung perlu untuk segera diselesaikan.

“Payung hukum dimaksud terutama adalah UU Energi Terbarukan yang lebih fokus. Jangan lagi kita bicara kiri kanan. Fokus saja. Jangan kita terjebak lagi pada wacana yang tidak menentu. RUU Energi Terbarukan sudah beberapa tahun dibahas, tapi masih saja molor terus. Kami sangat khawatir jika hal ini tidak diselesaikan,” kata Surya Darma.

Ia menambahkan, stagnansi pengembangan energi terbarukan selama ini jangan lagi diulang oleh semua pemangku kepentingan. Oleh karenanya, pemerintah diminta untuk serius menangani masalah UU Energi Terbarukan ini. METI menyatakan dukungan terhadap transisi energi berkelanjutan yang menjadi salah satu isu prioritas pada Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Indonesia harus menunjukkan sikap dan leadership dalam memenuhi target NZE dan energi transisi.

“Tidak mungkin secepatnya kita beralih ke Energi Terbarukan. Tapi krisis batubara ini menjadi dorongan pasti. Karena membangun energi terbarukan perlu waktu. Karena itu perlu disiapkan dari sekarang, termasuk perangkat hukum untuk bisa mendorong pembangunan energi terbarukan tersebut seperti UU ET dan regulasi pendukung lainnya,” ujar Surya Darma.(RA)