JAKARTA – Salah satu investor proyek batu bara terbesar di Indonesia, Korea Selatan, menegaskan akan mengakhiri pendanaan proyek batu bara. Hal ini sesuai deklarasi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in untuk menghentikan investasi publik batu bara di luar negeri Korea yang disampaikan pada Leaders Summit on Climate (KTT Perubahan Iklim) yang diinisiasi oleh Amerika Serikat, Kamis(22/4).

Korea Selatan menjadi salah satu dari tiga investor terbesar di dunia dalam mendanai proyek batu bara di luar negeri, setelah China dan Jepang. Namun, baru-baru ini, pemerintah Korea Selatan mendapat kecaman karena mendorong Kesepakatan Hijau (Green New Deal) di dalam negeri. Disisi lain, lembaga publiknya, seperti Bank Ekspor-Impor Korea (KEXIM), Bank Pembangunan Korea (KDB), dan Perusahaan Asuransi Perdagangan Korea (K-SURE) , mendukung proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di Provinsi Banten. Proyek tersebut diprediksi akan menghasilkan rata-rata 10 juta ton karbon dioksida per tahun, atau 250 juta ton CO2 selama 25 tahun, jumlah ini setara dengan emisi nasional tahunan Thailand atau Spanyol.

Menanggapi larangan investasi ekspor batu bara di luar negeri Korea, Sejong Youn, Direktur Program Pembiayaan Iklim dari lembaga Solutions for Our Climate yang berbasis di Seoul mengatakan moratorium Korea Selatan untuk pendanaan batu bara di luar negeri menandai hampir berakhirnya pinjaman lunak bagi proyek pembangkit listrik batu bara di Indonesia.

“Pemerintah Indonesia harus secara serius mempertimbangkan kembali rencana ekspansi PLTU, sebab saat ini pembangunan PLTU menjadi kurang layak secara finansial. Pemerintah Korea dan Indonesia harus bekerja sama untuk mengalihkan proyek ini menjadi proyek energi terbarukan, yang akan menguntungkan kedua negara sehingga selaras dengan tujuan iklim,” kata Sejonh Youn, Jumat (23/4).

Keluarnya Korea dari arena investasi proyek batu bara akan berpengaruh besar pada emisi domestik dan rencana pembangunan PLTU di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa dampak buruk perubahan iklim juga terlihat jelas melalui banjir dan badai Siklon Seroja yang melanda Nusa Tenggara Timur baru-baru ini.

Untuk menghindari krisis iklim adalah suatu keharusan dan oleh karena itu Indonesia harus meningkatkan ambisi iklimnya untuk mencapai emisi netral karbon pada 2050. “Tidak ada PLTU baru setelah 2025 dan penutupan PLTU secara bertahap di Indonesia harus segera dimulai serta akselerasi pengembangan energi terbarukan harus terwujud,” kata Fabby.

Dengan keluarnya Korea Selatan dari investasi ekspor proyek batu bara, dan Jepang yang masih mempertimbangkannya, maka hanya China yang akan tersisa sebagai salah satu investor batubara luar negeri terbesar di Indonesia.

Menurut Fabby, berakhirnya pendanaan batu bara internasional dari Korea Selatan, Jepang, dan China akan mendorong langkah-langkah untuk lepas dari ketergantungan batu bara dan mempercepat pengembangan energi terbarukan.

Jepang, sebagai salah satu investor besar dalam proyek batu bara di Indonesia, pada KTT ini mengumumkan target pengurangan emisi domestik sebesar 46% di tahun 2030, di bawah target pada 2013. Namun demikian, Jepang tidak mengumumkan moratorium pembiayaan batu bara luar negeri. Sebelumnya, terdapat ekspektasi tinggi bagi Jepang untuk melarang pembiayaan ekspor batu bara pada KTT ini mengingat tahun lalu Jepang telah mengumumkan pembatasan pendanaan batu bara luar negeri.

“Kami sangat kecewa bahwa pemerintah Jepang belum mengumumkan moratorium pendanaan batu bara luar negeri, tidak seperti pemerintah Korea Selatan,” ungkap Hozue Hatae, Peneliti Tim Keuangan Publik dan Lingkungan di Friends of the Earth Jepang.

Jepang memiliki tanggung jawab yang besar di Indonesia dalam hal keadilan iklim, karena secara konsisten, terus mendanai konstruksi PLTU di Cirebon 2, Batang dan Tanjung Jati B (Unit 5 dan 6) untuk menambah 5.000 MW di Jawa. Jika investasi publik Jepang masih berencana untuk mendukung PLTU Indramayu di Jawa Barat maka Deklarasi Netral Karbon 2050 Oktober lalu hanyalah sebuah pertunjukan tanpa realisasi.

“Kami menuntut pemerintah Jepang untuk segera mengambil tindakan nyata untuk menghentikan semua dukungan bagi pembangkit batu bara di luar negeri,” ujar Hozue Hatae.

Menurut Solutions for Our Climate, Korea Selatan telah menyediakan sekitar US$10 miliar untuk mendanai proyek PLTU di luar negeri antara tahun 2008 dan 2018. Proyek tersebut termasuk proyek pabrik Batu bara Cirebon Tahap 2 dan Tabalong (juga dikenal sebagai Kalsel), dibiayai oleh lembaga keuangan publik Korea diantaranya KEXIM, K-SURE, dan KDB.

Perusahaan Korea yang terlibat dalam proyek ini termasuk badan usaha milik negara Korea Electric Power Corporation (KEPCO), Doosan Heavy Industries & Construction, and Hyundai Engineering and Construction.

Namun, proyek-proyek tersebut mendapat kritik internasional, tidak hanya dari para aktivis iklim, juga dari mantan Wakil Presiden AS Al Gore, mantan kepala UNFCCC Christina Figueres, dan Nigel Toppings, serta para investor.

Meskipun studi pra-kelayakan oleh Korea Development Institute menunjukkan bahwa proyek Jawa 9, 10 akan menyebabkan kerugian bagi Korea Electric Power Corp. (KEPCO) sebesar US $ 7 juta, perusahaan tetap menyetujui investasi tersebut pada 30 Juni 2020. Merespon desakan protes dari para investor, pada 28 Oktober 2020, perusahaan secara resmi mengumumkan melalui siaran pers bahwa mereka tidak akan lagi mendanai proyek batu bara di luar negeri setelah proyek Jawa 9, 10 di Indonesia dan proyek Vung Ang 2 di Vietnam.

Jepang yang merupakan salah satu penyedia pendanaan batu bara internasional terbesar di Indonesia, dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk mengakhiri investasi batu bara luar negeri.

Sekitar 10.000 MW pembangkit batu bara telah dibangun dengan dana investasi Jepang, dengan jumlah pinjaman sekitar US$7,499 miliar. Namun, PLTU Indramayu Unit 4 tampaknya akan menjadi salah satu proyek batu bara terakhir yang yang masuk dalam perencanaan pembangunan.

Japan International Cooperation Agency (JICA) memberikan pinjaman hingga US$1,895 miliar untuk membangun PLTU 1.000 MW ini.
Seperti banyak proyek yang didanai Korea, proyek Indramayu Unit 4 mendapat kritikan karena bertentangan dengan tujuan dekarbonisasi Jepang, mengancam kesehatan masyarakat setempat, serta berkontribusi pada berlebihnya pasokan listrik di Jawa-Bali, yang mengakibatkan beban keuangan yang tidak perlu bagi PLN yang ditanggungkan pada pembayar tarif listrik.(RA)