JAKARTA – Bisnis gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) memasuki masa sulit. Selain sisi pasokan gas, pun dari sisi pembeli. Ini diperparah dengan tidak dilanjutkannya kontrak jual beli LNG dengan para konsorsium perusahan Jepang atau Western Buyer Extention (WBX) yang kontraknya habis pada tahun ini.

Kondisi ini jadi pukulan telak karena di tengah upaya untuk meningkatkan produksi gas nasional dan nilai ekspor kini justru Indonesia ditinggal salah satu konsumen terbesarnya. Keputusan ini jadi sebuah akhir dari cerita manis sebuah kontrak penjualan LNG tertua di Indonesia.

Salis S Aprilian, praktisi migas dan juga mantan Direktur Utama PT Badak LNG, mengungkapkan kesulitan Badak dari sisi pasokan gas terjadi lantaran produksi dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Kalimantan Timur turun drastis. Blok Mahakam yang sekarang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) eks Total E&P Indonesie (TEPI) yang dulu jadi pemasok andalan ke kilang LNG Bontang hanya  berproduksi sekitar 580 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sedangkan Blok Sanga-sanga, ex-Vico, yang sekarang dikelola PHSS (Pertamina Hulu Sanga-sanga) berproduksi sekitar 75 mmscfd, dan Blok East Kalimantan yang dikelola oleh PHKT (Pertamina Hulu Kalimantan Timur) ex-Chevron East Kalimantan berproduksi sekitar 5 mmscfd.

Pasokan gas sempat tertolong dengan kehadiran ENI yang memasok gas dari Blok Jangkrik, sebesar 470 mmscfd, dan Chevron Blok Bangka sebesar 35 mmscfd. Setelah dikurangi dengan gas untuk domestik sekitar 450 mmscfd. “Badak LNG masih mendapatkan pasokan gas sebesar 710 mmscd,” kata Salis kepada Dunia Energi, Jumat (11/9).

Namun, masuknya gas dari ENI tidak serta merta menyelesaikan masalah pasokan gas. Masalah baru muncul, yaitu gas dari lapangan Jangkrik adalah gas kering (dry gas) yang sebagian besar komponennya adalah methane.  “Karena itu, Badak LNG harus memodifikasi kilangnya agar dapat memproses dua jenis gas untuk meghasilkan LNG yang optimal,” jelas Salis.

Sementara kesulitan yang dialami dari sisi pembeli, lanjut Salis, Indonesia memang telat untuk bernegosiasi dengan para pembeli tradisional yakni Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sebelum kontrak tersebut berakhir.

Dia menjelaskan pada lima hingga tujuh tahun yang lalu saat harga minyak tinggi, pemerintah pernah sesumbar bahwa LNG dari Badak tidak akan diekspor lagi tapi akan diutilisasi di dalam negeri atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gas domestik.

Hal ini dipicu kebutuhan gas untuk listrik dan industri yang terus meningkat pada saat itu, dan ini menyebabkan perkiraan kekurangan pasokan gas di berbagai tempat. Gap antara supply-demand gas yang diprediksikan pada tahun 2013 tersebut menghasilkan kekurangan pasok gas sektar 1,5 juta ton LNG per tahun MTPA, sehingga kala itu dikatakan bahwa Indonesia sudah harus mengimpor gas di tahun 2019-2020.

“Tapi pada kenyataanya di akhir 2014 kita mengalami hal yang paling buruk dalam bisnis migas, yakni adanya penurunan harga minyak dan gas karena adanya booming shale-gas di Amerika Serikat dan masuknya LNG dari negara-negara Afrika ke pasar internasional,” jelas Salis.

Tapi baru saja pulih, dengan harga minyak ke level “normal”, ekonomi nasional dan dunia dihantam pandemi Covid-19 yang bahka sempat membuat harga minyak WTI negatif. “Inilah fenomena over-supply dan low-demand yang terjadi bersamaan. Dan, kita belum tahu sampai kapan hal ini akan terjadi,” ujarnya.

Menurut Salis dari latar belakang itulah, yang mengakibatkan putusnya kontrak LNG Indonesia oleh pembeli tradisional (Jepang Korea Selatan dan Taiwan) akan sangat mengguncang bisnis LNG Indonesia.

Dia menilai salah satu kesalahan yang cukup krusial adalah tujuh tahun yang lalu di Indonesia belum dibangun infrastruktur gas untuk dapat meng-utilasasi LNG untuk domestik. “Itu menjadi kunci utama,” kata dia.

Mantan Direktur Utama PT Pertamina EP itu menyebutkan, apabila saat itu ketika harga minyak tinggi dan infrastruktur gas untuk domestik dibangun secara massif, khususnya untuk kebutuhan listrik , industri, termasuk untuk transportasi dan smelter, maka Indonesia kita tidak lagi tergantung dari ekspor LNG. Apalagi jika tidak ada kontrak jangka panjang maka harus dijual di pasar spot sementara harga LNG spot pun sekarang sangat rendah.

Jika hal ini tidak ditangani dengan serius, dia menilai dapat dipastikan bahwa produksi gas dari KKKS di Kalimantan Timur akan tidak ekonomis lagi. “Apalagi kalau mereka tidak mendapatkan insentif untuk memproduksikan lapangan-lapangan tua yang biayanya juga terus naik sementara produksinya terus menurun,” kata Salis, yang mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).

Namun demikian kesulitan ini bukan tanpa solusi. Kegiatan operasional di hulu harus tetap berjalan. Menurut Salis posisi Pertamina sebagai BUMN sudah sebagai mayoritas pemegang otorisasi hulu-hilir di bisnis jadi peran kunci. Pemerintah harus pertimbangkan betul multiplier effect dari kegiatan hulu-hilir migas, bukan hanya urusan aturan kebijakan fiskal.

“Dengan operasi hulu yang terus dapat dipertahankan akan melibatkan banyak stakeholders yang menggeliatkan ekonomi, baik di sekitar daerah operasi migasa maupun nasional,” kata Salis.

Arief Setiawan Handoko, Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan kontrak dengan WBX berakhir di Desember 2020 dan tidak diperpanjang lagi.

“Pembeli eksisting saat ini menyatakan tidak ada kebutuhan tambahan untuk 2021,” kata Arief.

Kesepakatan jual beli LNG antara Pertamina dan WBX dilakukan pada 1973. Saat itu ada lima perusahaan yang sepakat membeli LNG Chubu Electric Co., Kansai Electric Power Co., Kyushu Electric Power Co., Nippon Steel Corp dan Osaka Gas Co. Ltd.. Dari hasil kesepakatan itu juga akhirnya terbangun kilang LNG pertama di Indonesia yang dibangun di Bontang dan waktu itu dibangun hanya dalam waktu 42 bulan.

Toho Gas Co pada 1981 juga ikut menandatangani kesepakatan pembelian LNG dari Bontang. Kemudian pada 2009 Pertamina dan para perusahaan Jepang terrsebut sepakat agar kontrak jual beli LNG menjadi satu kontrak.

Pada 1981 ada dua konsumen lain yakni Tokyo Ekectric dan Tohoku Electric juga ikut tandatangani kontrak 20 tahun pembelian LNG dengan Pertamina. Pada tahun 1984 Indonesia menyalip Algeria sebagai negara No 1 pengekspor gas dunia. Selama hampir 20 tahun sejak saat itu Indonesia menjadi negara eksportir terbesar LNG melalui kesepakatan dengan WBX tersebut. (RI)