JAKARTA – Kecepatan perkembangan energi baru terbarukan (EBT) diyakini sangat dipengaruhi kondisi keuangan PT PLN (Persero). Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan sejak 2012 pertumbuhan penjualan listrik PLN menunjukan tren penurunan. Rata-rata pertumbuhan penjualan listrik PLN pada periode 2015-2019 sebesar 4,3%.

“Beban finansial PLN meningkat, cash flow seret,” kata Fabby dalam acara diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Fabby mengestimasikan pertumbuhan listrik dengan pertumbuhan PDB 4,9-5,2% adalah 4,2-4,7%. Kebutuhan tambahan pembangkit listrik PLN di 2020 sekitar 3.500–4.000 MW. Untuk mencapai target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 23% bauran energi primer maka 75%-80% new installed capacity dari 2020-2025 harus berasal dari pembangkit EBT, yakni sebesar 3.000 MW per tahun.

Menurut Fabby, tarif tenaga listrik PLN yang berlaku di bawah sustainable level electricity tariff (BPP+allowable margin 7%). Perhitungan IESR mengindikasikan rata-rata tarif yang berlaku saat ini untuk golongan tarif S/R/B/I/P lebih rendah 10%-80% dari sustainable tariff level (Rp1.530-Rp1.550/kWh).

Apabila FiT diberlakukan maka dalam kondisi saat ini biaya pembangkitan tenaga listrik (BPP) akan naik di 2021 dan seterusnya. Oleh karena itu pilihannya adalah pertama pemerintah menaikkan subsidi dan kompensasi pendapatan bagi PLN sesuai dengan besar kenaikan beban biaya dari regulasi baru ini. Kedua, pass-through kepada konsumen listrik lewat mekanisme kenaikan TTL dasar dan tariff adjustment (yang memasukan porsi komponen EBT).

Fabby menekankan perlunya mengganti model regulasi dari Cost-Control Regulation menjadi Performance-Based Regulation (PBR), dimana kinerja memasukan efisiensi biaya penyediaan tenaga listrik. “PLN harus dipaksa menyesuaikan sistemnya untuk mengakomodasi pembangkit EBT yang lebih besar, dan pada saat yang bersamaan mengurangi pembangunan pembangkit thermal (PLTU) khususnya di Jawa,” tandas Fabby.(RA)