JAKARTA – Pemerintah berkomitmen menaikkan ambisi adaptasi perubahan iklim, dengan memasukkan aksi-aksi yang lebih nyata, adaptasi di sektor kelautan, serta lebih terintegrasi dengan isu-isu penting lainnya, seperti keanekaragaman hayati dan desertifikasi.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyampaikan updated Nationality Determined Contribution (NDC) secara implisit menunjukkan ambisi 41% target yang akan dicapai, dengan memperkuat langkah-langkah implementasi kerjasama teknis luar negeri dalam hal teknologi dan pengembangan sektor swasta.

“Misalnya, dalam kegiatan elctro-mobility yang telah dirintis dan dimulai seperti pengembangan listrik solar panel,” ujar Siti Nurbaya, Rabu (21/7).

Kemudian, juga mempertegas peran teknologi dan kerjasama internasional swasta dan dukungan internasional seperti dalam hal proyeksi rehabilitasi mangrove hingga 600.000 Ha sampai dengan akhir 2024, peningkatan peran rehabilitasi lahan oleh swasta hingga hingga lebih dari 200.000 hektar, hingga pengembangan kompleks green industry supported by green energy di Kalimantan Utara seluas 12.000 Ha.

Kedua, pemerintah Indonesia telah menyusun strategi jangka panjang yang akan menjadi pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta komitmen NDC lima-tahunan selanjutnya. Sejak tahun 2020, Indonesia telah berproses untuk menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), menuju net-zero emissions dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh, berketahanan iklim dan berkeadilan.

“Dokumen LTS LCCR 2050 disusun berdasarkan kondisi perekonomian dan turunnya kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta pembelajaran atas rentannya kondisi global menghadapi pandemi COVID-19 dengan tetap optimis mengacu kepada prospek pemulihan pascapandemi serta kebijakan nasional seluruh sektor saat ini sampai tahun 2050,” ungkap Siti Nurbaya.

Sektor Agriculture, Forestry dan Land Use (AFOLU) dan sektor energi akan sangat menentukan pathways yang akan dituju pada tahun 2050. Dengan skenario paling ambisius yaitu Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU sudah mendekati net sink.

“Seluruh sektor harus makin meningkatkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menuju tahun 2050. Selain itu, diharapkan pada tahun 2050 dapat tercapai ketahanan iklim melalui jalur sektoral dan kewilayahan,” kata Siti Nurbaya.

Ketiga, Indonesia seringkali menjadi sorotan atas capaian, prestasi, dan kebijakan yang menawarkan solusi. Sedangkan secara bilateral, Indonesia di berbagai kesempatan didekati oleh negara yang dengan maksud untuk menjadi mitra dalam menangani perubahan iklim.

Siti Nurbaya menekankan bahwa peristiwa kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha dari interpretasi citra satelit, serta 1,6 juta hektar pada tahun 2019, memberikan pelajaran sangat berharga dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk dapat diatasi. Akhirnya pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan langkah pencegahan secara permanen melalui upaya-upaya yaitu monitoring hotspot dan patroli, sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat, teknik modifikasi cuaca, tata kelola gambut, dan penegakkan hukum.

“Tidak mudah penyelesaian selama beberapa tahun, dan dalam turbulensi interaksi yang cukup berat antar berbagai elemen stakeholders, terutama dengan dunia usaha. Dan di tahun 2020 kemarin kita berhasil menekan areal kebakaran hutan hanya menjadi sekitar 290 ribu hektar,” ujarnya.

Pada konteks emisi karbon, bisa dihitung emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2015 sebesar 1,5 Gton CO2 eq, pada tahun 2019 menjadi 0,9 Gton CO2eq. Diantara 0,9 Gton CO2eq tersebut, yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan tercatat sebesar 0,45 Gton CO2 eq; dan pada tahun 2020 turun menjadi 0,03 Gton CO2 eq.

“Ini artinya bahwa kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dengan pencegahan permanen, telah menunjukkan hasil kerja cukup baik dan masih harus dipertahankan dan untuk terus ditingkatkan,” ujar Siti Nurbaya

Kemudian, terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan menjadi perhatian banyak negara, pemerintah mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 hingga 2000, yaitu sebesar 3,5 juta ha per tahun. Kemudian pada periode 2002 hingga 2014, menurun hingga 600 ribu sampai 400 ribuan ha. Akhirnya mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha.

Pertemuan COP 26 yang seyogyanya dilaksanakan akhir tahun 2020 terpaksa ditunda karena pandemic COVID-19. Tahun ini diharapkan Britania Raya sebagai tuan rumah bersama-sama dengan Italia berupaya agar pertemuan COP 26 dapat diselenggarakan dengan metoda in-person, pada tanggal 31 Oktober hingga 12 November 2021.

“COP 26 merupakan pertemuan yang krusial dan penting, mengingat Paris Agreement dapat diimplementasi dengan efektif hanya bila negara-negara pihak dapat menyepakati Rules Book Paris Agreement sebagai basis,” kata Siti Nurbaya.(RA)