JAKARTA – Komisi VII DPR RI yang membidangi sektor energi bakal segera memanggil PT Pertamina (Persero) untuk membahas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Selain Pertamina sebagai badan usaha yang ditugaskan, Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) juga akan dipanggil.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, menegaskan pembahasan kuota BBM bersubsidi cukup mendesak lantaran adanya peningkatan konsumsi BBM sejak awal tahun yang berbuntut pada diperkirakan jebolnya subsidi ditengah tingginya harga minyak dunia.

“Kita akan cek ke Pertamina dan BPH Migas kita akan duduk 1-2 hari akan cek betul volumenya berapa, konsumsi masyarakat berapa karena faktanya konsumsi BBM naik tinggi, sudah pulih dari 2019 sebelum krisis inilah sekali lagi kita tidak bisa mengandai-andai kita akan cek betul dalam forum resmi,” kata Sugeng di gedung parlemen (16/8).

Sebelumnya Ketua Badan Anggaran DPR RI menuturkan tidak ada cara lain untuk menutup kesenjangan harga antara harga jual BBM sekarang dengan keekonomian selain dengan menaikkan harga BBM ke masyarakat.

Menurut Sugeng kalkulasi Banggar merupakan hasil dari pembahasan Komisi VII, untuk itu sudah sepatutnya Komisi VII kembali melakukan kalkulasi ulang sebelum diputuskan adanya kenaikan harga BBM atau tidak.

“Ingat Banggar kan hitungannya dari komisi VII juga,” tegas Sugeng.

Menurut dia kenaikan harga BBM bakal memberikan efek domino yang luar biasa kepada masyarakat karena tanpa kenaikan harga BBM sekarang saja harga kebutuhan barang dan jasa sudah mulai merangkak naik.

Dia memaklumi kesulitan pemerintah dengan tingginya gap antara harga jual BBM sekarang dengan keeknomian. Namun dia meminta pemerintah mendorong adanya penghematan melalui penyaluran BBM subsidi yang tepat sasaran.

“Penghematan saya setuju dengan cara penghematan yaitu BBM subsidi diperuntukan bagi angkot, motor, angkutan logistik itu pun truk roda empat karena solar subsidinya tinggi sekali, dijual Rp5.150 padahal biaya produksi Rp 15 ribuan, Pertalite dijual Rp7.650 harga keekonomiannya Rp 17 ribuan ini memang terjadi kesenjangan yang luar biasa maka pemakaian secara volume harus tepat sasaran, banyak metode agar tepat sasaran,” jelas Sugeng. (RI)