JAKARTA – Pemerintah dinilai telah menabrak undang-undang dengan menetapkan penambahan subsidi  Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis tertentu atau solar pada tahun ini dari Rp500 per liter menjadi Rp2.000 per liter atau ditambah sebesar Rp 1.500 per liter.

Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR, mengatakan pada intinya DPR  tidak akan menghalangi jika maksud pemerintah, baik untuk mengurangi beban subsidi yang ditanggung PT Pertamina (Persero) dengan kondisi harga minyak seperti sekarang tanpa  perubahan harga BBM. Namun tetap harus dilakukan dengan prosedur yang sudah diatur oleh regulasi, dalam hal ini berarti melalui pengajuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2018.

“Subsidi Rp500 itu jadi Rp2.000 tahun ini. Ya kami bilang, boleh, tapi ajukan ke APBN-P. Saya khawatir saja, kecenderungan sekarang tabrak sana tabrak sini. Apakah itu dijalankan? Kalau dijalankan itu melanggar UU APBN. Mekanismenya harusnya APBN-P,” kata Gus saat ditemui di Gedung DPR Jakarta, Selasa (2/10).

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 40 Tahun 2018 yang menetapkan tambahan subsidi solar menjadi Rp2.000 per liter.

Berdasarkan UU APBN 2018, dalam Pasal 16 disebutkan program pengelolaan subsidi direncanakan sebesar Rp156.228.125.107.000. Anggaran untuk program pengelolaan subsidi dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan perubahan parameter, yaitu realisasi ICP maupun nilai tukar rupiah.

Sementara jika dilihat pada realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 30 Juni 2018 tercatat sebesar Rp176,83 triliun. Realisasi tersebut tumbuh 21,02% dibanding periode yang sama tahun lalu, terutama disebabkan kenaikan harga komoditas baik minyak bumi maupuun batu bara sepanjang semester I 2018.

Realisasi penerimaan migas dalam PNBP mencapai Rp58,75 triliun atau tumbuh 47,95% dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan penerimaan SDA migas ditopang oleh lebih tingginya realisasi ICP periode Desember 2017-Juni 2018 sebesar US$65,76 per barel, sementara patokan ICP dalam APBN 2018 adalah US$48 per barel.

Menurut Gus Irawan, masih ada peluang bagi pemerintah untuk segera mengajukan APBNP 2018, sebelum lebih jauh melakukan pelanggaran.

“Masih (ada peluang APBNP 2018). APBN tahun depan kan ada aturan sampai akhir oktober. 2 bulan sebelum tahun berjalan masuk,”ungkap dia.

Kebijakan Merugikan

Gus Irawan juga menilai ada kekeliruan pemerintah dalam membuat kebijakan khususnya kepada Pertamina. Pencabutan subsidi premium dengan masih mengatur harga dianggap sebagai logika yang tidak tepat.

Selain itu, pemerintah seharusnya menjalankan amanat aturan sendiri yang dibuat oleh pemerintah, yakni melakukan evaluasi terhadap harga BBM setiap tiga bulan sekali. Tapi yang terjadi justru pemerintah telah menetapkan kebijakan tidak ada perubahan harga premium maupun solar hingga akhir 2018.

“Harga diatur pemerintah dan tidak diberikan subsidi. Pertamina tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan yang merugi. Ini membebani keuangan Pertamina,” ungkap dia.

Menurut Gus Irawan, pemberian blok-blok migas kepada Pertamina yang diklaim sebagai kompensasi terhadap berbagai penugasan serta beban di sektor hilir juga tidaklah tepat. Karena pada kenyataannya Pertamina mendapatkan itu harus melalui bidding atau sebagai penawar terbaik.

“Terbantah kan lagi, Blok Rokan, misalnya. Pertamina dapatkan itu bukan dikasih karena dia BUMN. Dia tuh sama saja dengan perusahaan lain. Mereka ikut bidding. Harga dia lebih bagus kan,” tandas Gus Irawan.(RI)