JAKARTA – Penyediaan cadangan operasional bahan bakar minyak (BBM) oleh badan usaha yang disyaratkan oleh pemerintah dinilai bisa menambah beban para pelaku usaha. Padahal seharusnya ketersediaan cadangan BBM itu jadi tugas dan kewajiban negara.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan jika ada kewajiban penyediaan cadangan BBM, maka hal ini akan menjadi beban bagi badan usaha lantaran ada nilai yang ditimbun dan tidak bisa menjadi cash flow.

“Karena selama periode tertentu mandatori akan ada nilai uang tertentu yang tidak bisa menjadi cashflow, yang dalam bisnis itu sangat penting,” kata Komaidi di Jakarta, Kamis (24/9).

PT Pertamina (Persero) selama ini dikenai beban penyediaan cadangan BBM yang kemudian diimplementasi dengan cadangan operasional perusahaan. Hanya saja Pertamina masih memiliki peluang untuk memperoleh kompensasi atas penyediaan cadangan ini dari tempat lain, seperti pengurangan setoran dividen.

Menurut Komaidi, perlakuan serupa yang akan menjadi masalah jika aturan baru nanti tetap jalan. “Karena hal ini tidak akan bisa dilakukan oleh badan usaha yang terkena mandatori tersebut,” ujar Komaidi.

Jika pencadangan operasional mau diwajibkan ke badan usaha, maka negara harus memperhitungkan nilai uang yang dicadangkan. Jadi harus memberikan imbalan pada badan usaha yang ditugaskan.

“Bagaimanapun bagi badan usaha itu kan masalah usaha. Ibaratnya yang triliun ditaruh di pasar uang sehari saja, ada imbalannya. Apalagi ini sampai 17 hari,” ungkap Komaidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah menyusun aturan yang mewajibkan badan usaha memiliki cadangan niaga BBM mulai tahun depan. Dalam beleid tersebut, badan usaha diwajibkan cadangan niaga BBM hingga 23 hari dalam lima tahun ke depan. Kewajiban ini dilakukan bertahap mulai tahun ini, yakni cadangan BBM untuk 11 hari di 2020 dan 2021, 17 hari di 2022-2023, dan menjadi 23 hari mulai 2024 dan seterusnya.

Henry Achmad, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan badan usaha diwajibkan memiliki cadangan niaga BBM secara berkesinambungan pada jaringan distribusi niaganya di dalam negeri selama 23 hari dalam kurun waktu lima tahun. Volume cadangan ini akan disesuaikan dengan realisasi penjualan BBM badan usaha.

Badan usaha juga wajib menyampaikan laporan terkait pelaksanaan penyediaan cadangan tersebut. Laporan ini mencakup realisasi penyaluran rata-rata harian, volume harian cadangan niaga umum BBM, lokasi dan kapasitas fasilitas penyimpanan. Badan usaha juga harus memberikan data pendukung seperti berita acara serah terima BBM, berita acara stok opname fisik, rekapitulasi penyaluran BBM pada fasilitas penyimpanan, serta data lain terkait pelaksanaan penyediaan cadangan niaga umum BBM.

“Penyediaan yang dimaksud dihitung dari volume penyaluran harian rata-rata pada tahun sebelumnya. Dalam hal pemegang izin usaha baru memulai kegiatan niaga umum BBM, perhitungan penyaluran harian rata-rata menggunakan perencanaan volume penyaluran harian pada tahun berjalan,” kata Henry.

BPH Migas nantinya dapat menjatuhkan sanksi adminitratif berupa teguran tertulis dan denda kepada badan usaha yang melakukan pelanggaran. Sanksi teguran tertulis dikenakan paling banyak dua kali untuk jangka waktu paling lama masing-masing tiga bulan.(RI)