JAKARTA – PT Pertamina (Persero) telah ditetapkan pemerintah sebagai operator di Blok Rokan menggantikan PT Chevron Pacific Indonesia yang kontraknya habis pada 2021. Namun pemberian hak kelola tidak gratis. Pertamina yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharuskan membayar mahal signature bonus atau bonus tanda tangan agar dipilih pemerintah sebagai operator di Blok Rokan.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengatakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan pembayaran signature bonus sebesar US$ 784 juta
kepada Pertamina guna mengelola Blok Rokan berdasarkan Permen ESDM No.30/2017 adalah
kebijakan inkonstitusional.

Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas dinyatakan bahwa jangka waktu kontrak kerja sama (KKS) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Kemudian dalam ayat 2 dinyatakan badan usaha atau bentuk usaha tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu kontrak kerja sama paling lama 20 tahun.

Memperhatikan ayat 2, UU Migas memang memberikan peluang bagi
kontraktor eksisting untuk mengajukan perpanjangan kontrak. Namun karena
mengandung kata “dapat”, maka keputusan atas pengajuan tersebut merupakan
pilihan yang bisa dikabulkan atau ditolak pemerintah.

Kemudian, berdasarkan amanat konstitusi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36 Tahun 2012, pengelolaan
blok terminasi seharusnya bukan lagi pilihan atau justru memberikan kesempatan pertama bagi kontraktor eksisting untuk memperpanjang kontrak, seperti yang di tentukan dalam Permen ESDM No.15/2015 atau Permen N0.23/2018 yang sebenarnya juga telah dibatalkan Mahkamah Agung.

“Sikap yang seharusnya diambil pemerintah adalah secara otomatis menyerahkan blok terminasi tersebut kepada BUMN atau dalam hal ini Pertamina,” kata Marwan disela diskusi publik pemberlakukan signature bonus Blok Rokan di Jakarta, Kamis (24/1).

Menurut Marwan, pemberlakukan bonus tanda tangan lumrah dalam bisnis migas, akan tetapi yang lazim terjadi bonus tanda tangan diberlakukan bagi perusahaan asing yang beroperasi di suatu negara.

“Pertamina merupakan wakil negara yang harus menguasai dan mengelola cadangan migas. Karena itu sangat tidak relevan mengenakan kewajiban membayar signature bonus kepada Pertamina,” kata Marwan.

Pertamina sendiri untuk bisa membayar bonus tanda tangan Blok Rokan sampai harus menerbitkan obligasi global atau global bond pada tahun lalu.

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Jendral Ikatan Sarjana Nahdatul Ulama (ISNU), mengatakan dilihat dari sisi aturan yang sudah ada pemberlakukan bonus tanda tangan menjadi bisa dilakukan oleh pemerintah. Akar permasalahan sebenarnya ada dalam UU migas yang didalamnya tidak diatur adanya prioritas bagi perusahaan milik negara termasuk Pertamina.

“Permasalahannya ini di Undang-Undang. Pertamina sudah dikerdilkan dalam Undang-Undang, jadi ya aturan dibawahnya tinggal mengikuti saja,” tandas Kholid.(RI)