TOKYO- Harga minyak menguat sekitar 1% di perdagangan Asia pada Senin (31/1/2022) pagi WIB, naik di dekat tertinggi tujuh tahun yang dicapai di sesi sebelumnya. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran investor atas pasokan yang ketat serta ketegangan geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent naik US$92 sen atau 1,0%, menjadi diperdagangkan di 90,95 dolar AS per barel pada pukul 00.51 GMT, setelah menambahkan US$69 sen pada Jumat (28/1/2022). Kontrak bulan depan untuk pengiriman Maret berakhir di kemudian hari.
Sementara itu, kontrak berjangka Brent paling aktif, untuk pengiriman April, diperdagangkan pada US$89,69 per barel, terangkat US$1,17 atau 1,3%.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terdongkrak US$99 sen atau 1,1%, menjadi diperdagangkan di US$87,81 per barel, setelah naik US$21 sen pada Jumat (28/1/2022).
Kedua harga acuan mencatat level tertinggi sejak Oktober 2014 pada Jumat (28/1/2022), masing-masing di US$91,70 dan US$88,84 per barel, dan kenaikan mingguan keenam berturut-turut.
Tahun ini, harga minyak naik sekitar 15% di tengah ketegangan geopolitik antara Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia dan penyedia gas alam utama ke Eropa, dan Barat atas Ukraina serta ancaman terhadap Uni Emirat Arab dari gerakan Houthi Yaman yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang pasokan energi.
Toshitaka Tazawa, analis di Fujitomi Securities Co Ltd, mengatakan kecematan yang mendasari tentang kekurangan pasokan global, ditambah dengan risiko geopolitik yang sedang berlangsung, telah menyebabkan pasar memulai minggu ini dengan catatan yang kuat.
“Dengan ekspektasi bahwa OPEC+ akan mempertahankan kebijakan peningkatan produksi bertahap yang ada, harga minyak kemungkinan akan tetap pada sentimen bullish minggu ini,” katanya, memprediksi Brent akan tetap di atas US$90 per barel dan WTI menuju US$90 per barel.
“Saat Brent tembus level harga US$90, terlihat aksi jual tetapi investor mulai membeli lagi ketika harga turun sedikit karena mereka tetap berhati-hati terhadap kemungkinan gangguan pasokan karena meningkatnya tensi geopolitik,” kata Tatsufumi Okoshi, analis dari Nomura Sekuritas.
“Pasar memperkirakan pasokan akan tetap ketat karena OPEC + terlihat mempertahankan kebijakan yang ada untuk meningkatkan produksi secara bertahap,” tambahnya.
“OPEC telah berjuang untuk meningkatkan produksi sejalan dengan kenaikan kuota yang disepakati. Akibatnya, kapasitas cadangan berada pada tingkat yang mungkin tidak cukup untuk menutupi gangguan geopolitik,” kata analis dari ANZ Research dalam sebuah catatan pada hari Jumat.
Produsen utama di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, secara kolektif dikenal sebagai OPEC+, telah menaikkan target produksi mereka setiap bulan sejak Agustus sebesar 400.000 barel per hari (bph) saat mereka melepas rekor pengurangan produksi yang dibuat pada 2020.
Tetapi mereka gagal memenuhi target produksi mereka karena beberapa anggota kesulitan dengan keterbatasan kapasitas.
Pada pertemuan 2 Februari, OPEC+ kemungkinan akan tetap dengan rencana kenaikan target produksi minyaknya untuk Maret, beberapa sumber OPEC+ mengatakan kepada Reuters, karena melihat permintaan pulih meskipun ada risiko penurunan dari pandemi dan kenaikan suku bunga yang kian dekat.
Ketegangan antara Rusia dan Barat juga menopang harga minyak mentah. Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, dan Barat berselisih soal Ukraina, memicu kekhawatiran bahwa pasokan energi ke Eropa dapat terganggu. (RA)





Komentar Terbaru