JAKARTA – Konsumsi energi dari sumber energi baru dan terbarukan (EBT) diperkirakan akan terus melonjak dalam beberapa dekade ke depan. Proyeksi tersebut membuka ruang bagi Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan EBT sebagai prioritas utama guna meningkatkan ketahanan energi nasional jangka panjang. Upaya ini selaras dengan komitmen dunia dalam menekan laju pertumbuhan emisi gas rumah kaca.

Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), menjelaskan adanya penguatan indeks ketahanan energi nasional dari tahu ke tahun. Saat ini, indeks ketahanan energi nasional berada di angka 6,57 atau masuk kondisi tahan (6 s/d 7,99).

“Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan? Sebab dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih sangat kurang, meskipun pemerintah terus berupaya membangun infrastruktur gas, juga BBM melalui program BBM satu harga, kita membangun SPBU kecil di daerah 3T. Sedangkan untuk aspek acceptability ini terkait dengan lingkungan,” kata Djoko, (29/11).

Untuk acceptability , Djoko menuturkan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia pada 2020 baru 11,2%. Namun angka ini sudah cukup meningkat dibandingkan 2015 yang sebesar 4%. “Kita menuju 23% di 2025. Artinya kalau kita melakukan business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai, dan di 2050 31%, kemudian di 2060 di mana kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50%,” ungkap dia.

Pengukuran ketahanan energi sendiri menggunakan aspek 4A (availability, affordability, accessibility, dan acceptability) dan metode pembobotan menggunakan AHP (analisa hierarchy process). Aspek availability adalah ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri.

Selanjutnya sspek affordability yaitu keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Kemudian aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik. Sedangkan aspek acceptability adalah penggunaan energi yang peduli lingkungan (darat, laut dan udara) termasuk penerimaan masyarakat.

Dukungan transisi energi sendiri, sambung Djoko, secara umum dapat dilakukan melalui regulasi harga gas sebesar US$6 per MMBTU, Rancangan Undang-Undang EBT dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Harga EBT. Tak hanya itu, terdapat beberapa dukungan lain dari pemerintah, seperti penyusunan Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi, zero flaring gas, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menuturkan untuk menekan laju emisi, Pemerintah telah menyusun Peta Jalan transisi energi menuju net zero emissions. “Dengan strategi antara lain pengembangan utama EBT secara masif, mendorong penggunaan kendaraan listrik, dan pengembangan interkoneksi transmisi, dan smart grid,” kata Arifin.

Sementara itu, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi berbasis pembangunan rendah karbon. “Pertumbuhan ekonomi perlu dijaga dan hal ini menjadi momentum untuk melakukan transisi ekonomi hijau dengan memprioritaskan pembangunan rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan,” kata Airlangga. (RI)