Kamis (21/3) pagi tadi berlangsung lanjutan sidang kasus Akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di lepas pantai Victoria, Australia dengan terdakwa Galaila Karen Kardinah Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014. Ini adalah persidangan keenam bagi Karen. Pada persidangan kelima pekan lalu, ada empat saksi yang dihadirkan, salah satunya adalah Gunung Sardjono Hadi, mantan SVP Direkorat Hulu Pertamina dan mantan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi.

Pada sidang keenam kali ini, sedianya ada 10 saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat. Saksi tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu Tim Pengembangan dan Pengelolaan Portofolio Usaha Hulu (TP3UH) dan Tim Rencana Bisnis dan Transformasi Korporat (RBTK). Di Tim TP3UH ada empat saksi yang disiapkan jaksa penuntut umum, yaitu Bambang Widjanarko, Wahyudi Satoto, Slamet Riadhy, dan Triadhy Prayogo. Sementara Tim RBTK terdiri atas Widhyawan Prawiraatmaja, Purwo Tjahyoo, Dini Nurhayati, Indria Doria, Lindy F Royinsulu, dan Eva Klarisa Astrid. Namun, yang hadir ternyata hanya enam orang, yaitu Triadhy dari TIm TP3UH dan lima orang dari TIm RBTK, yaitu Widhyawan, Purwo, Indria, Lindy, dan Eva.

Majelis Hakim masih belum akan mengambil keputusan untuk perkara ini. Besar kemungkinan masih ada sejumlah saksi, termasuk saksi yang akan dihadirkan oleh terdakwa dan penasihat hukumnya. Kendati begitu, kasus akuisisi ladang migas BMG telah menelan korban. Pada Senin (18/3), majelis hakim yang diketuai Frangki Tambuwun memvonis dua orang mantan eksekutif Pertamina. Ferederick T Siahaan, Mantan Direktur Keuangan Pertamina di era Karen dan Bayu Kristianto, divonis bersalah. Adapun Genades Panjaitan, Chief of Legal Consul and Compliance Pertamina, yang ikut disangka, hingga kini belum menjalani persidangan.

Fere, panggilan akrab Ferederick T Siahaan, saat itu sangat kecewa atas putusan majelis hakim. Maklum, dia menilai banyak fakta persidangan yang diabaikan. Fere mengatakan, setidaknya ada beberapa fakta sidang yang diabaikan. Pertama, hakim menyatakan keputusan akuisisi Blok BMG tidak melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Padahal, menurut Fere, penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sudah melalui mekanisme RUPS. Di dalam RKAP sudah termaktub rencana Pertamina untuk melakukan akuisisi sejumlah blok migas dalam rangka eksplorasi.

“Dalam penyusunan tersebut dikatakan bahwa kewenangan RUPS diserahkan kepada Komisaris. Apalagi Komisaris sudah memberikan persetujuan atas akuisisi Blok BMG,” ujarnya dalam persidangan, Senin (18/3) lalu.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara kepada mantan direktur keuangan tersebut. Hakim menyatakan dia terbukti bersalah melakukan korupsi dalam proses akuisisi Blok BMG di Australia. Fere juga divonis denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan. Hakim menilai terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain itu hakim juga menilai Fere tak mengakui perbuatannya dan tak terus terang.

Vonis delapan tahun penjara juga ditetapkan majelis hakim terhadap Mantan Manajer Merger dan Akuisisi Direktorat Hulu Pertamina Bayu Kristanto. Bayu juga dihukum membayar denda Rp1 miliar subsider empat bulan kurungan. Dalam pertimbangan, hakim menilai, perbuatan Bayu menurut majelis hakim tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Bayu juga tidak mengakui dan tidak berterus terang.
Meski demikian, Bayu belum pernah dihukum dan menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah.

Bayu bersama Fere dan Karen didakwa telah mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di Pertamina dan ketentuan atau pedoman investasi lainnya dalam PI atas Lapangan atau BMG Australia pada 2009. Bayu dinilai telah menyalahgunakan wewenang dan jabatan dalam akuisisi saham yang dilakukan Pertamina. Bayu dinilai mengabaikan tugasnya untuk memonitor, menganalisis, dan mengevaluasi proses akuisisi.

Dia bersama Karen dan Fere memutuskan melakukan investasi PI di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan dan kajian terlebih dulu. Mereka dinilai menyetujui PI tanpa adanya uji tuntas (due diligence) serta tanpa adanya analisis risiko yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA). Selain itu, menurut hakim, penandatanganan itu tanpa persetujuan dari bagian legal dan Dewan Komisaris Pertamina. Perbuatan Bayu secara bersama-sama itu telah memperkaya Roc Oil Company Ltd Australia. Sesuai laporan perhitungan, perbuatan mareka telah merugikan negara Rp586 miliar.

Kasus ini terjadi pada 2009, saat Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Energi (PHE) mengakuisisi 10% terhadap Roc Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG. Perjanjian dengan Roc Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksi US$31 juta. Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta.

Melalui dana yang sudah dikeluarkan itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barel per hari. Namun, menurut majelsi hakim, Blok BMG hanya dapat bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari.

Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup setelah Roc Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional. Bayu divonis hakim terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Keputusan Bisnis

Akuisisi hak partisipasi Blok BMG di Australia merupakan keputusan bisnis Pertamina demi memperkuat sektor hulu untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas. Anggaran untuk investasi ini juga telah disetujui oleh pemegang saham Pertamina berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) pada 2009.

Proses akuisisi PI Blok BMG diklaim telah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris. Dengan demikian, proses akuisisi tidak melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) PT maupun Anggaran Dasar Pertamina.

“Jika saya cermati, seharusnya sudah sesuai dengan prosedur. Namun, prosesnya tidak mulus. Sempat ada memo pembatalan dari Dewan Komisaris (Dekom). Pada tahapan tersebut kemungkinan Dekom sudah mengindikasikan adanya potensi masalah,” kata Komaidi Notonegoro, Reforminer Institute, kepada Dunia Energi, Kamis (21/3).

Komaidi menilai sejatinya persoalan ini masuk wilayah hukum perdaata. Dengan demikian, jika pun ada permasalahan seharusnya juga diselesaikan dalam ranah perdata bukan pidana.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Dunia Energi, investasi akuisisi PI ROC di Blok BMG oleh Pertamina sejatinya merupakan keputusan bisnis Pertamina pada 2009 demi memperkuat sektor hulu Pertamina dalam peningkatan cadangan dan produksi migas. Anggaran investasi ini telah disetujui oleh RUPS Pertamina di dalam RKAP Pertamina 2009, dengan total nilai anggaran sebesar Rp1,40 miliar dan US$161 juta atau ekivalen Rp1.772,40 miliar.

Proses akuisisi PI ROC di BMG diawali adanya surat penawaran dari Citi Investment Bank (Citibank) selaku Financial Advisor ROC kepada Direktur Keuangan Pertamina atas PI yang dimiliki oleh ROC di Blok BMG. Selain kepada Pertamina, ROC juga menawarkan PI Blok BMG kepada potential bidder lainnya. Atas penawaran tersebut, Direktorat Hulu Pertamina menyatakan minatnya untuk mengakuisisi PI ROC di Blok BMG.

Citibank selanjutnya menyatakan Pertamina sebagai shortlisted bidder yang diberi kesempatan untuk mengikuti proses bidding sesuai tata waktu yang ditetapkan oleh Citibank. Selain itu, Citibank mewajibkan Pertamina memasukan binding offer atau tawaran yang bersifat mengikat serta mengkonfirmasi seluruh persetujuan yang diperlukan untuk mengakuisisi PI blok BMG telah diperoleh Pertamina.

Menindaklanjuti kesempatan investasi yang ditawarkan oleh Citibank tersebut, tim pengembangan bisnis Direktorat Hulu Pertamina melakukan kajian dan evaluasi serta memaparkan rencana investasi kepada Komite Investasi dan Resiko Usaha (KIRU), Dewan Komisaris.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh tim teknis Pertamina dibantu financial advisor Delloite serta legal advisor Baker McKenzie, tim pengembangan bisnis Direktorat Hulu Pertamina mengusulkan kepada Direksi Pertamina agar akuisisi PI ROC pada Blok BMG dapat diteruskan kepada Dewan Komisaris untuk mendapat persetujuan.

Berdasarkan usulan tersebut, Direksi memohon persetujuan Dewan Komisaris agar Pertamina melaksanakan investasi non rutin berupa akuisisi PI ROC pada Blok BMG. Sesuai ketentuan Anggaran Dasar Pertamina, Direksi membutuhkan persetujuan Dewan Komisaris untuk melakukan akuisisi. Terhadap usulan tersebut, Dewan Komisaris menyatakan persetujuannya agar Pertamina mengikuti bidding project diamond sesuai Memo Dekom tanggal 30 April 2009 (akuisisi PIC ROC pada blok BMG).

Dengan diperolehnya persetujuan Dewan Komisaris untuk mengikuti proses bidding akuisisi PI ROC pada blok BMG, Direktur Hulu Pertamina memasukan binding final offer akusisi blok BMG sesuai syarat-syarat dan tenggat waktu yang ditetapkan oleh Citibank.

Pertamina, ROC, dan Citibank selanjutnya melakukan negosiasi atas harga penawaran yang diajukan Pertamina dengan hasil ROC dapat menyetujui harga yang disampaikan Pertamina dalam binding final offer.

Direksi selanjutnya melaporkan secara tertulis kepada Dewan Komisaris bahwa binding final offer telah disampaikan kepada ROC pada tanggal 1 Mei 2009 dan sesuai hasil negosiasi tanggal 14-15 Mei 2009, ROC telah menyampaikan persetujuannya atas harga yang ditawarkan Pertamina pada binding final offer.

Selain itu, menurut dokumen tersebut, Direksi juga melaporkan kepada Dewan Komisaris bahwa setelah ROC menyetujui penawaran Pertamina maka langkah selanjutnya adalah penandatanganan perjanjian jual beli atau Sales & Purchase Agreement (SPA) yang direncanakan akan dilakukan pada minggu keempat Mei 2009.

Dengan mempertimbangkan Dewan Komisaris telah memberikan persetujuan untuk proses bidding akuisisi PI blok BMG (termasuk memproses hasil bidding) serta Dewan Komisaris tidak pernah menolak/tidak menyetujui rencana penandatanganan SPA yang telah dilaporkan oleh Direksi kepada Dewan Komisaris, maka dilakukan penandatanganan SPA oleh Pertamina dan ROC/Anzon pada tanggal 27 Mei 2009, di Sydney, Australia.

Sehari setelah SPA ditandatangani, Direksi menerima memo dari Dewan Komisaris yang berisi Dewan Komisaris tidak menyetujui akusisi PI di BMG karena Dewan Komisaris berpendapat keikutsertaan Pertamina dalam bidding project diamond hanya untuk melatih SDM Pertamina dalam proses bidding di luar negeri.

Memo Dekom ini menimbulkan kesan adanya inkonsistensi Dekom dalam akuisisi project diamond karena di dalam memo tanggal 30 April 2009, Dekom menyetujui Pertamina mengikuti bidding project diamond.

Di dalam memo 27 Mei 2009, Dekom Pertamina menyatakan bahwa persetujuan bidding project diamond hanya untuk melatih SDM Pertamina dalam proses bidding di luar negeri. Dalam posisi ini, proses bidding project diamond yang diikuti Pertamina seolah-olah hanya sebagai media trial & error Pertamina tanpa memikirkan dampak hukum dan dampak lainnya yang bersifat mengikat dan harus dihadapi Pertamina.

Menindaklanjuti memo Dewan Komisaris tersebut, Direksi dan Komisaris mengadakan pembahasan terkait kelanjutan akuisisi PI blok BMG. Adapun alternatif solusi yang diusulkan, yaitu akuisisi dibatalkan dengan konsekuensi turunnya reputasi Pertamina dan hilangnya uang deposit US$3 juta.

Akuisisi dilanjutkan dan mendivestasikan kembali PI BMG di kemudian hari. Nah, demi menghindari Pertamina dinyatakan default/wanprestasi karena tidak melakukan pembayaran deposit US$3 juta sesuai tenggat waktu yang ditetapkan SPA, Pertamina mengajukan permohonan perpanjangan waktu pembayaran deposit dan hal tersebut akhirnya dapat disetujui oleh Anzon dengan berbagai catatan. Selain itu, Direksi melalui fungsi hukum juga meminta pendapat hukum dari legal advisor, Baker McKenzie untuk mengetahui risiko hukum yang akan dihadapi Pertamina apabila transkasi akuisisi PI BMG dibatalkan.

Pendapat hukum Baker McKenzie menyatakan bahwa apabil Pertamin membatalkan SPA maka ROC/Anzon akan menuntut Pertamina karena telah merusak rencana pendanaan, kegiatan operasional, strategi bisnis, dan reputasi ROC sebagai perusahaan publik. Besaran kerugian yang akan diajukan Anzon berdasarkan SPA maksimal sebesar US$31,4 juta dan minimum sebesar US$3 juta ditambah bunga.

Mempertimbangan risiko yang akan dihadapi oleh Pertamina apabila SPA dibatalkan, Direksi menyampaikan kembali pendapatnya melalui memo kepada Dewan Komisaris bahwa dengan terbitnya persetujuan Dewan Komisaris sesuai memo tanggal 30 April 2009, pada prinsipnya Direksi sudah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris untuk melakukan transaksi akuisisi PI Blok BMG sesuai ketentuan anggaran dasar.

Selain itu, direksi juga menyampaikan pertimbangan kepada Dewan Komisaris terkait alternatif solusi yang akan diambil, yaitu apabila transaksi dibatalkan ROC/Anzon akan menuntut Pertamina telah merusak rencana pendanaan, kegiatan operasional, strategi bisnis dan reputasi ROC sebagai perusahaan publik. Besaran kerugian yang akan ajukan Anzon berdasarkan SPA maksimal sebesar US$31,4 juta dan minimum sebesar US$3 juta ditambah bunga.

Apabila Pertamina melanjutkan transaksi, Pertamina berpotensi mendapatkan keuntungan serta asset yang dapat dijual kembali.

Berdasarkan hal tersebut, Direksi meminta Dewan Komisaris mempertimbangkan kembali transaksi akuisisi PI blok BMG. Merespons Memo Direksi tersebut, Dewan Komisaris memberikan persetujuaannya agar poject diamond (akuisisi PI blok BMG) dapat dilanjutkan oleh Pertamina.

Toh, keputusan manajemen Pertamina saat itu untuk mengakuisisi Blok BMG bermasalah di kemudian hari. Dua orang mantan petinggi perusahana divonis penjara. Tinggal satu orang yang menanti putusan majelis hakim. Adapun satu tersangka lainnya (Genades) masih belum dilakukan penahanan dan belum jelas kapan akan disidangkan.

Bila mengacu kepada prinsip asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), kerusakan psikologis dari para terdakwa/tersangka sudah terjadi. Hal ini karena penahanan sudah berlangsung relatif lama, dan opini publik sudah terbentuk sebelum ada keputusan hukum yang tetap melalui pengadilan.

Di sisi lain, para terdakwa telah berhasil membawa Pertamina ke kelas dunia, dan telah menyetorkan keuntungan yang sangat besar kepada negara. Bukan hanya para terdakwa yang tersiksa saat ini, para direksi BUMN lainnya pun telah dan akan terus terdemotivasi dalam mengembangkan kegiatan bisnisnya. Ancaman kriminalisasi terhadap pekerja BUMN pun sangat terbuka di kemudian hari. Keputusan bisnis korporat sejatinya tak layak dikriminalisasi! (RA)