JAKARTA – Penentuan biaya penambangan sebagai komponen harga listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulut tambang dinilai perlu mengedepankan transparansi harga antar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT PLN (Persero), dan pemasok batu bara.

Andang Bachtiar, Ketua Komite Eksplorasi Nasional, mengatakan penentuan biaya penambangan batu bara sebaiknya dilakukan konsultan independen yang telah disetujui Kementerian ESDM dan PLN. Hal ini dilakukan mengingat perdebatan antara Kementerian ESDM dengan PLN berawal dari harga mulut tambang di Sumatera yang didasarkan usulan biaya penambangan dari pelaku tambang atau calon pemasok batu bara secara langsung.

“Pendekatan kepemilikan terintegrasi antara PLTU mulut tambang, baik PLN maupun IPP lebih dipastikan nilainya, misalnya 10-30% dan sebagainya,” kata dia, Selasa (2/8).

Andang mengatakan KEN mengusulkan dilakukannya revisi terhadap Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 9 Tahun 2016, yaitu untuk jarak antara PLTU mulut tambang dan wilayah tambang maksimal 20 kilometer (km) yang dinilai over regulated. Untuk itu, kebijakan itu semestinya direvisi atau dihilangkan mengingat lokasi sebaran perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang memungkinkan jarak IUP lebih dari 20 km.

Menurut Andang, untuk PLTU skala kecil 7 megawatt (MW)-25 MW, mengingat kebutuhan batu bara hanya sebesar 35.000 – 125.000 ton per tahun tentu tidak dimungkinkan dipasok dari luar IUP yang jauh jaraknya, dan tidak dipasok oleh tambang besar. Sehingga, cost plus dengan margin 15-25% dapat ditetapkan dengan perhitungan biaya penambangan tetap melalui konsultan.

“Untuk PLTU skala besar, 100-1.000 MW, mengingat pemasok adalah perusahaan batu bara besar maka harga batu bara dilakukan business to business. Namun, kontrol terhadap konservasi maupun S/R tetap menjadi kontrol ESDM agar tidak terjadi hilangnya cadangan akibat dari sekadar menjual harga murah serta keuntungan besar dari perusahaan,” tandas Andang.(RA)