JAKARTA – Indonesia diyakini akan menjadi salah satu negara terdepan dalam pengembangan potensi panas bumi di dunia. Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia nantinya bisa menjadi Global Geothermal Power House.

Ahmad Yuniarto, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), mengungkapkan keyakinan tersebut cukup beralasan apalagi dengan jumlah pontensi panas bumi yang diketahui hingga kini. Tersisa saat ini adalah inisiatif untuk kembangkan panas bumi.

Menurut Yuniarto, panas bumi sekarang ini dan ke depannya tidak hanya dipandang sebagai salah satu alternatif pembangkit listrik, tapi lebih dari pada itu ada industri hilir panas bumi kini sudah menjadi keniscayaan yang mau tidak mau juga dikembangkan yakni green hydrogen. Salah satu cara untuk bisa memonetisasi potensi panas bumi secara efisien berikut serta industri turunannya adalah dengan penerapan teknologi.

“Teknologi digital membantu kita menjadi lebih efisien dalam setiap aspek penilaian sumber daya panas bumi yang berbeda,” kata Yuniarto saat berbicara pada The 8th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition 2022 di Jakarta, Kamis (15/9).

Yuniarto menjelaskan, salah satu langkah terbaik mengembangkan panas bumi hingga ke industri turunannya adalah dengan bermitra. PGE saat ini tengah mencari mitra untuk pengembangan panas bumi ke industri turunannya. “Kami mencari mitra potensial yang dapat mendukung kami dalam mengakses inovasi dan teknologi,”ungkap dia.

PGE, lanjut Yuniarto, memiliki target kapasitas terpasang pembangkit listrik bisa bertambah 600 Megawatt (MW) dalam lima tahun mendatang. Untuk menuju target itu dipastikan tidak akan mudah sehingga PGE kata dia secara aktif memiliki lima prinsip utama untuk tetap proaktif tumbuh dan sejalan menekan risiko yang memang tinggi di industri panas bumi.

Pertama adalah dengan fokus mengembangkan bisnis utama PGE, memanfaatkan teknologi, membangun kerja sama strategis, pemanfaatkan pembiayaan berbagai model pembiayaan yang kompetitif, serta mendesain ulang keekonomian panas bumi

Namun, tambah Yuniarto, mendesain ulang keekonomian dalam industri panas bumi tidak mudah dan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Hal ini dilakukan di antara sesama perusahaan pengembang panas bumi ataupun dengan stakeholder lainnya yaitu dengan menjadikan industri panas bumi terbangun dengan lebih solid dan stabil secara keekonomian.

Dia mencontohkan lingkungan industri yang sudah solid atau stabil sama seperti yang terjadi di industri migas. “Industri migas misalnya itu sudah terbentuk dengan solid industrinya secara nilai ekonomi,” kata Yuniarto.

Nisriyanto, Presiden Direktur dan CEO Supreme Energy, mengakui bahwa kemitraan adalah keharusan yang harus dilakukan di industri panas bumi. Salah satuya masalah sumber daya manusia. Nisriyanto juga menggarisbawahi pentingya membangun industri panas bumi yang lebih solid seperti halnya dengan industri migas. Pemerintah berperan penting dalam merealisasikannya.

“Memang industri panas bumi tidak sebesar migas, playernya juga nggak sebanyak migas sehingga harus ada komitmen pemerintah untuk menggerakan industri ini, industri tidak bergerak jauh kalau tidak dibuat secara masif. Semua industri misalkan dari sudut pengadaan misalnya casing power plant, operator yang kerjakan itu kalau selama ini kan sebagian impor,” kata dia.

Hingga akhir 2021, kapasitas terpasang PLTP baru mencapai 2.276,9 MW atau baru 9,5% dari sumber daya yang ada. Padahal, Indonesia merupakan pemilik sumber daya panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Hingga Desember 2020, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sumber daya panas bumi Indonesia mencapai sebesar 23.965,5 MW.

AS menduduki peringkat nomor wahid untuk sumber daya panas bumi yakni mencapai 30.000 MW. Selanjutnya, Indonesia 23.965 MW, Jepang 23.400 MW, Kenya 15.000 MW dan Islandia 5.800 MW. (RI)