JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) hingga kini sudah dioperasikan 31 negara. Total 450 lebih PLTN beroperasi dan terus bertambah 3% per tahun. Bahkan, pertambahan jumlah PLTN di China mencapai 11% per tahun.

“Mesir, Saudi Arabia, sudah persiapan. Bangladesh sedang membangun. Dan Uni Emirat Arab siap mengoperasikan PLTN,” kata Bob Soelaiman Effendi, Chief Representative Thorcon International Ltd di Jakarta, baru-baru ini.

Bob mengatakan kehadiran PLTN menjadi suatu kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Berdasarkan kajian, regulasi tentang pembangunan pembangkit listrik nuklir sudah memadai. Dengan kata lain, tidak ada regulasi yang melarang pembangunan PLTN.

“Amanat UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional). Ada Bapeten yang akan menjamin keselamatan. Dan, pembangunan PLTN tidak akan membebani APBN, karena investasi 100% swasta,” ungkap Bob.

Sejumlah manfaat pengembangan PLTN, antara lain dapat menurunkan tarif listrik sehingga terjangkau bagi industri dan masyarakat, melepaskan biaya pokok produksi (BPP) dari volatilitas bahan bakar, membangun kapasitas besar sesuai target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) hingga 10 GW per tahun, dan menggantikan energi primer yang akan habis dalam dua dekade. Serta meningkatkan bauran energi nirkarbon menjadi 23% (2025) dan 31% (2050) untuk menurunkan emisi mencapai target PP 79/2014.

“Seluruh dunia akan memantau proses persiapan, pembangunan dan pengoperasian dengan sangat teliti. Dan, penerimnaan masyarakat saat ini sudah tinggi,” tandas Bob.

Disisi lain, pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik masih banyak menemui kendala. Greenpeace Indonesia menilai perlu banyak pertimbangan dalam pembangunan PLTN. Salah satu pertimbangan penting adalah wilayah Indonesia yang rawan gempa karena berada di area ring of fire.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan Greenpeace sudah jelas sampai saat ini menolak nuklir. PLTN memang bersih dari polusi udara, namun tetap harus dipertimbangkan potensi-potensi radiasi, kebocoran, dan faktor keamanan lainnya.

“Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dengan PLTN, bagaimana dengan SDM dan infrastrukturnya?” kata Bondan kepada Dunia Energi, baru-baru ini.

Hal senada diungkapkan Agus Sari, Aktivis Lingkungan, yang mempersoalkan soal biaya pembangunan PLTN yang dianggap masih terlalu mahal.

“Pembangkit listrik nuklir itu susah untik dibuat jadi murah, karena teknologinya mahal. Dan pada saat ditutup itu ada yang namanya decommisioning, semua radiasinya harus dibersihkan, itu biasanya besar,” ujar Agus.

Agus menambahkan, wilayah Indonesia yang tergolong ring of fire akan menyulitkan pengembang untuk membangun PLTN. Meskipun saat ini terdapat teknologi PLTN yang tahan gempa, namun diyakini biayanya cukup tinggi.

“Belum lagi nanti harga yang hidden, harga tidak langsung. Misalnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan biaya pengamanan PLTU itu kan beda dengan pengamanan untuk PLTN. Dengan demikian, pengeluaran keamanan menjadi lebih tinggi,” kata Agus.(RA)