JAKARTA – Beberapa negara di dunia telah memasuki fase transisi energi, yaitu proses peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, terutama di sektor ketenagalistrikan. Hal ini ditandai dengan kenaikan kapasitas energi terbarukan yang melebihi pembangkit berbasis fosil, atau menurunnya kapasitas pembangkit fosil dari tahun ke
tahun. Serta meningkatnya penetrasi energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan.

Jerman, China, dan India merupakan negara-negara yang terbilang berhasil melaksanakan proses transisi energi ini. Salah satu kebijakan yang mendukung kesuksesan di tiga negara tersebut adalah adanya mekanisme pendanaan energi terbarukan yang mendorong peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan, terutama pada fasa awal terjadinya transisi energi.

“Dana energi terbarukan adalah dana yang dihimpun atau dialokasikan khusus untuk menjamin terlaksananya pengembangan,” kata Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Kamis (21/5).

Indonesia dapat mengambil pembelajaran instrumen pendanaan dari ketiga negara tersebut. Adanya kebijakan pendanaan energi terbarukan yang tepat seharusnya dapat mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia dan mencapai target bauran energi terbarukan yang sudah ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Jerman, China, dan India mempunyai mekanisme pendanaan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di negara masing-masing. Jerman menerapkan insentif feed-in-tariff (FiT) untuk listrik yang diproduksi dari pembangkit energi terbarukan yang mana biayanya akan dibebankan kepada konsumen listrik (EEG Surcharge).

China menerapkan skema subsidi pada proyek energi terbarukan dengan sumber dana berasal dari anggaran pemerintah dan surcharge listrik energi terbarukan dari pelanggan listrik. Sedangkan India melakukan pungutan pada produksi dan impor batu bara dengan besaran yang tetap, yang lalu dikumpulkan ke dalam National Clean Energy & Enviornment Fund untuk selanjutnya digunakan untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan pemerintah, penelitian, dan pemetaan sumber daya. Dana ini juga dipakai untuk memberikan insentif berupa Viability Gap Fund (VGF) bagi pengembang PLTS atap.

Menurut Surya, di Indonesia dana energi terbarukan dapat berasal dari APBN/APBD, Hibah (baik G2G, multi donor, dll), pungutan ekspor energi tidak terbarukan dan energi terbarukan, pengalihan pungutan dana energi tidak terbarukan, dana lingkungan, termasuk pajak karbon, serta sertifikat energi terbarukan.

Nantinya dana energi terbarukan dipergunakan untuk pembiayaan infrastruktur, pembiayaan insentif termasuk dan tidak terbatas pada mengurangi resiko investasi energi terbarukan melalui penyediaan berbagai skema jaminan (guarantee) termasuk loan guarantee untuk menjamin pinjaman di lembaga pembiayaan, pembiayaan FS dan DED, studi potensi energi terbarukan dan lain-lain.

“Dana energi terbarukan juga dipergunakan untuk kompensasi badan usaha yang ditunjuk pemerintah untuk pengadaan energi terbarukan (PLN, Pertamina), serta litbang dan peningkatan kualitas SDM,” tandas Surya.(RA)