JAKARTA – Pemerintah dianggap terkesan tidak memiliki kebijakan yang jelas dan cenderung reaktif. Hal ini terkait perceparan larangan ekspor komoditas bijih nikel.

Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center of Indonesian Resources Strategic Studies, mengatakan larangan ekspor bijih nikel merupakan kerugian pengusaha nasional yang sungguh-sungguh ingin membangun smelter, namun masih menghadapi kesulitan, seperti izin, teknis, teknologi dan keuangan.

“Ada kesan pemerintah mudah di lobi pihak tertentu,” kata Disan kepada Dunia Energi Jumat (6/9).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memastikan soal berlakunya percepatan larangan ekspor komoditas bijih nikel, mulai berlaku 1 Januari 2020. Salah satu alasannya adalah karena untuk menjaga cadangan dan juga mempertimbangkan banyaknya smelter nikel yang mulai beroperasi di Indonesia.

Menurut Disan, percepatan larangan ekspor bijih nikel menjadikan tujuan hilirisasi berkaitan dengan dengan penguatan nasional tidak tercapai.

Pemerintah mengklaim percepatan larangan tersebut sudah berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, bijih nikel dengan kadar rendah sudah bisa diolah di dalam negeri, karena perkembangan teknologi yang sudah maju.

Pertimbangan lainnya adalah pembangunan smelter nikel yang pesat beberapa tahun belakangan ini membutuhkan pasokan nikel cukup tinggi dari dalam negeri.

“Positifnya, ekspor mineral yang nilai tambahnya rendah dapat dibatasi,” tandas Disan.(RA)