JAKARTA – Risiko investasi di sisi pengembang Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai makin besar menyusul perubahan kebijakan harga EBT. Pemerintah yang sebelumnya memberikan insentif bagi harga melalui instrumen feed in tariff (FiT) justru diganti dengan harga berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) PT PLN (Persero) dan ketentuan Build Own Operate Transfer (BOOT) yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Serta perubahan term and condition PPA antara pengembang dan PLN sebagai single buyer.

“Penggunaan BPP PLN sebagai dasar penentuan harga jual listrik energi terbarukan yang dibangun swasta, sebagai kesalahan fatal dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah praktik kebijakan harga terbaik yang berlaku di negara-negara di dunia,” kata Fauzi Imron, Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Bidang Energi Terbarukan di Jakarta, belum lama ini.

Dia mengatakan PLN tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan pemerintah dalam pelelangan dan kontrak energi terbarukan. Sebagai contoh, dalam lelang di salah satu wilayah kerja, pimpinan PLN setempat menyatakan bahwa tarif EBT harus dalam rupiah, dimana ini bertentangan dengan ketentuan di Pasal 17 Permen ESDM 10/2017 yang membolehkan pengembang menggunakan tarif dalam mata uang dolar Amerika Serikat disamping Rupiah.

Pekerja melintas di salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Garut, Jawa Barat.

Selain itu, ketersediaan pendanaan dari sumber-sumber domestik untuk proyek energi terbarukan skala kecil dan menengah (<10 MW) sangat terbatas dan banyak institusi keuangan yang menyatakan tidak bankable atas proyek-proyek EBT. Hal ini mengingat tarif rendah, kualitas regulasi dan proses bisnis energi terbarukan yang kurang transparan, sekaligus alokasi risiko akibat regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM.

Menurut Fauzi, Kementerian ESDM juga belum berkenan menggunakan pemberian insentif dan subsidi untuk pengembangan energi terbarukan. Pelaksanaan ketentuan mengenai insentif fiskal yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan melalui PMK No. 21/PMK.011/2010 tidak efektif dan tidak sesuai dengan kebutuhan teknologi energi terbarukan yang saat ini berkembang di Indonesia.

“Dukungan dalam bentuk insentif fiskal dan finansial secara selektif sangat diperlukan saat ini untuk memperluas pasar dan meningkatkan keekonomian energi terbarukan sehingga dapat bersaing dengan energi konvensional di masa depan,” tandas Fauzi.(RA)