Sidang Chevron

Sidang perdana kasus bioremediasi Chevron.

JAKARTA –Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis, 20 Desember 2012, memulai sidang pertama kasus korupsi terkait proyek bioremediasi atau pemulihan tanah tercemar limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) terkait eksploitasi minyak di Riau oleh PT Chevron Pacific Indonesia.

Tiga karyawan Chevron, yakni Endah Rumbiyanti, ST, Kukuh Kertasafari, ST, dan Widodo diadili dalam perkara terpisah. Selain karyawan Chevron, diadili juga dua orang kontraktor pelaksana lapangan kegiatan bioremediasi ini, yaitu Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematury.

Dalam surat dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, mereka diduga melakukan korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jumlah kerugian negara yang dituduhkan mencapai USD 9.990.210,93.

Para pengacara karyawan Chevron yang dipimpin Maqdir Ismail, mendapat kesempatan membacakan eksepsi (pembelaan, red) hari itu juga. Para pengacara karyawan Chevron langsung  menyatakan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum, dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, terdakwa Endah Rumbiyanti dalam surat dakwaannya didakwa bersama-sama dengan Widodo dan Kukuh. Tetapi dalam surat Dakwaan Kukuh, dia didakwa bersama-sama dengan Endah, Herland bin Ompo, dan Ricksy Prematury. Sedangkan dalam surat dakwaan Widodo, dia didakwa bersama-sama Endah, Herland, dan Ricksy.

Kedua, terdakwa didakwa bersama-sama. Tetapi penyebutan kerugian negara dalam masing-masing dakwaan jumlahnya berbeda. Demikian pula uraian perbuatan dalam surat dakwaan dan pasal yang digunakan untuk menjerat ketiganya, juga berbeda.

“Digunakan pasal untuk menyita harta, tetapi tidak ada uraian fakta bahwa terdakwa mempunyai barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari perbuatan pidana yang didakwakan,” kata tim pengacara karyawan Chevron.

Lebih buruk lagi, kata penasehat hukum terdakwa, penggunaan keterangan ahli Edison Efendi bukan hanya tidak patut, tetapi dia dapat diduga mempunyai konflik kepentingan dengan kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia.

Edison Efendi, sesuai dengan Risalah rapat tanggal 9 Agustus 2011 dan tanggal 15 Agustus 2011, adalah sebagai ahli bioremediasi yang mengkuti tender atas nama PT. Putra Riau Kemari. Namun penawaran mereka saat itu ditolak Chevron, karena tidak memenuhi persayaratan teknis.

Dengan mengikuti pendapat Sutadi Pudjo Utomo, penasehat hukum mengatakan bahwa mekanisme kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC) migas tidak mengenal adanya “cost recovery” atau biaya pemulihan. Melainkan biaya operasi atau ‘operating cost’.

Biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh Chevron untuk mengeksploitasi minyak, diperhitungkan atas produksi minyak Chevron, bukan dibayar oleh APBN atau memakai uang negara. Biaya operasi diperhitungkan atas produksi minyak, sehingga berbentuk natura yaitu minyak mentah, bukan uang.

Dalam mekanisme PSC migas, juga tidak dikenal adanya kemungkinan potensi kerugian negara. Karena seluruh biaya operasi kegiatan migas masih dapat diaudit, dan disesuaikan kapanpun sampai kontrak berakhir.

Penasehat hukum para terdakwa juga menyatakan, tudingan Penuntut Umum bahwa kegiatan pengolahan limbah B3 oleh Chevron tidak berizin, salah besar. Mereka pun membeberkan fakta-fakta seputar izin pengolahan limbah yang dipersoalkan Penuntut Umum.

Pertama, sebelum izin berakhir Chevron telah menyampaikan izin perpanjangan untuk melakukan pengolahan Limbah B3 di Soil Bioremediation Facility (SBF) dan permohonan ini diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Kedua, pekerjaan yang dilakukan oleh Chevron dalam lingkungan SBF tersebut bukanlah perbuatan yang dilarang.

Ketiga, pekerjaan pengolahan limbah B3 di Soil Bioremediation Facility (SBF) adalah melanjutkan pekerjaan yang sudah mendapat izin dari KLH.

Keempat, pekerjaan pengolahan limbah B3 di Soil Bioremediation Facility (SBF) dilakukan dibawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup.

Kelima, Kementerian Lingkungan Hidup tidak pernah memerintahkan untuk menghentikan kegiatan pengolahan limbah B3 di Soil Bioremediation Facility (SBF) yang izinnya sedang dimohonkan perpanjangannya.

Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup telah memberikan PROPER Biru di SLS dan SLN (dua lokasi yang di-treatment bioremediasi) untuk periode 2010-2011 dan 2011-2012 dalam pengelolaan lingkungan oleh PT Chevron Pacific Indonesia, dan dinyatakan pula bahwa ada ketaatan terhadap perizinan.

Secara relatif, menurut penasehat hukum, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini. Karena perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa berada diwilayah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Pekerjaan bioremediasi dan pembayaran kepada kontraktor dilakukan di Pekanbaru, saksi-saksi pun kebanyakan di Pekanbaru. Para terdakwa tidak pernah menyampaikan permohonan pembayaran untuk kontraktor kepada Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) di Jakarta.

Selain itu Penasehat Hukum juga menyoroti skema tindak pidana yang didakwakan yang berbeda dengan tindak pidana yang disidik. Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, terdakwa Endah Rumbiyanti dituduh bersama-sama dengan Kukuh Kertasafari dan Widodo.

Ternyata dalam Surat Dakwaan, Endah didakwa bersama-sama dengan Kukuh dan Herland. “Artinya apa yang didakwa berbeda dengan apa yang disidik, sehingga Surat Dakwaan harus dibatalkan,” tandas tim pengacara karyawan Chevron di persidangan.

Dengan mengutip Frederic Bastiat, seorang pemikir Prancis, Penasehat hukum Endah Rumbiyanti, mengatakan, “Kita tidak ingin hukum digunakan untuk memberangus keadilan yang seharusnya dipelihara, atau untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya dijunjung tinggi. Tentu kita tidak ingin hukum digunakan untuk melakukan kekejian, sehingga perampasan seperti menjadi hak serta penegakan kebenaran dianggap sebagai kejahatan.”

Dalam menutup eksepsinya para penasehat hukum menyatakan, percaya bahwa pengadilan adalah satu-satunya tempat yang harus dipercaya, dan harus ditunjukkan sebagai tempat menegakkan keadilan dan kebenaran. “Kami percaya ketika nurani kita gunakan untuk menilai satu perkara, suara nurani akan melahirkan keadilan, termasuk dalam kasus ini,” pungkas para pengacara.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)