JAKARTA – Sebagai perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang diamanatkan untuk bisa tumbuh dan berkembang termasuk bersaing dengan perusahaan lainnya,  mau tidak mau PT Pertamina (Persero) harus mau terjun ke sektor hulu yang penuh akan risiko.

Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina era 2009-2014, mengatakan sebagai perusahaan yang ingin tumbuh Pertamina harus berani mengambil risiko tersebut.

“Bisnis hulu migas penuh dengan Ketidakpastian, walaupun sudah ada kajian dan lain-lain. Itu penuh dengan risiko nah kalau misalnya Pertamina tidak boleh berisiko yang sudah khusus SPBU saja jangan ada hulu,” kata Karen di Jakarta, Kamis (16/5).

Karen tersandung kasus dugaan korupsi saat Pertamina mengakuisisi 10% hak partisipasi Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC). Pertamina dinilai merugikan keuangan negara karena dari investasi yang sudah digelontorkan mencapai US$ 57 juta tidak memberikan keuntungan ke Pertamina karena Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd (anak usaha Pertamina) rata-rata sebesar 252 barel per hari dari target 812 barrel per hari. Karen dianggap jadi aktor dibalik investasi tersebut yang dianggap sebagai kerugian negara.

Menurut Karen, tidak ada kerugian yang diderita Pertamina secara keseluruhan karena dilihat dari kinerja perusahaan, Pertamina masih mencetak keuntungan yang besar. Kondisi di blok BMG adalah bagian dari investasi hulu yang penuh ketidakpastian, sama seperti kegiatan eksplorasi yang dilakukan Pertamina di dalam negeri yang kadang kala tidak menemukan cadangan migas sama sekali atau dry hole.

“Di hulu tidak ada kerugian negara namanya hulu kan tadi resiko hulu 1 banding 10 , bor 10 sumur baru dapat 1 jadi setiap bor gagal dianggap kerugian negara,ya wassalam saja migas Indonesia coba tanya eksplorasi Indonesia yang sudah alami kerugian,” jelas Karen.

Menurut Karen,jika  suatu investasi perusahaan migas di sektor hulu gagal dianggap sebagai kerugian negara bukan tidak mungkin ke depan ada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lain yang akan tersangkut masalah serupa dengan dirinya karena dianggap menyebabkan kerugian, lantaran kegiatan pengeborannya masih dibayarkan oleh negara melalui mekanisme cost recovery.

“Ini lambat laun akan merembet Production Sharing Contract (PSC) lain karena ingat PSC itu ada cost recovery jadi kalau nanti cost recovery sumur gagal dipidana mau jadi apa,” tegas Karen.

Sebelumnya, Hilmi Panigoro, Presiden Direktur Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mengatakan apa yang terjadi di blok BMG adalah murni risiko bisnis yang dihadapi korporasi terlebih di bisnis hulu migas. Dia bahkan prihatin dengan kasus yang menimpa Karen bisa berdampak negatif ke iklim investasi migas yang saat ini sedang coba kembali digenjot gairah investasinya.

“Ini berikan gelombang preseden buruk bahwa keputusan aksi korporasi bisa berakhir di ranah pidana, kecuali kalau ada fraud ya, ada conflict of interest,” kata Hilmi. (RA).