Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama Pertamina usai menjalani sidang kasus dugaan korupsi akuisisi Blok BMG, Australia di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (7/2).(Foto/Dunia-Energi/Rio Indrawan)

JAKARTA – Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 menegaskan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat dirinya salah alamat. Alasannya, tidak ada kerugian yang ditimbulkan karena akuisisi Blok Basker Manta Gummy (BMG) merupakan salah satu aksi korporasi yang sudah disepakati dan sudah disetujui oleh dewan komisaris.

“Pasti, jelas sudah sepengetahuan dewan komisaris akuisisinya,” kata Karen saat ditemui usai menghadiri persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (7/2).

Karen ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus akuisisi 10% hak partisipasi Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC).

Menurut Karen, apa yang dilakukannya dan tim direksi saat itu adalah salah satu inisiatif terbesar yang dilakukan karena untuk pertama kali Pertamina berekspansi ke luar wilayah Indonesia.

“Perlu diingat akuisisi itu merupakan yang pertama kali dilakukan Pertamina, akuisisi wilayah kerja di luar negeri,” katanya.

Karen dalam pembelaan yang dibacakan tim kuasa hukumnya juga mengatakan bahwa aksi korporasi Pertamina saat itu merupakan amanat dari para pemegang saham yang sudah dituangkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2009.

Kebijakan akuisisi tersebut untuk kepentingan perseroan bukan kepentingan pribadi dan perbuatan itu (akuisisi) untuk meningkatkan produksi migas Indonesia. Akuisisi itu juga telah mendapatkan pembebasan dan pelunasan sepenuhnya dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan sehingga tanggung jawab direksi menurut hukum perseroan telah berpindah ke pemegang saham.

Soesilo Ariwibowo, Kuasa Hukum Karen, mengatakan perbuatan Karen Agustiawan sepenuhnya merupakan aksi korporasi sebagai pelaksanaan doktrin atau prinsip Business Judgement Rule (BJR) dalam undang-undang perseroan terbatas yang merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

“Pada pasal 92 dan Pasal 97 Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan,” kata Soesilo.

Selain itu, menurut tim kuasa hukum seharusnya pihak jaksa penuntut juga memiliki keterangan resmi dari pihak ROC Oil Company Limited (ROC). “Sejauh mana status hukum perusahaan, harusnya pihak bersangkutan dimintai keterangan, karena diduga sebagai pihak yang diperkaya, ketiadaan keterangan itu membuat surat dakwaan menjadi tidak jelas,” papar Soesilo.

Tujuh pokok alasan keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut diantaranya adalah :

Pertama, surat dakwaan tidak cermat, karena penuntut umum telah keliru dengan menafsirkan dan menggolongkan perbuatan terdakwa sebagai tindak pidana korupsi yang sebetulnya merupakan pelaksanaan dari Prinsipprinsip Business Judgement Rule (BJR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.

Kedua, ROC yang dianggap telah menerima keuntungan atas akuisisi Blok BMG pada 2009 tidak jelas status hukumnya. Bahkan, tidak pernah diperiksa secara pro justisia dalam perkara ini.

Ketiga, surat dakwaan tidak menguraikan unsur “niat jahat” atau mens rea dari terdakwa, sehingga dakwaan penuntut umum menjadi tidak lengkap.

Keempat, uraian terkait unsur kerugian keuangan negara tidak jelas dan tidak lengkap. Dugaan adanya kerugian keuangan negara dalam akuisisi Blok BMG hanya didasarkan pada Laporan Perhitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik (KAP), Drs. Soewarno, Ak.

“Setelah kami pelajari, ternyata laporan KAP tersebut bukan laporan perhitungan kerugian keuangan negara melainkan hanya Laporan Akuntan Independen atas Penerapan Prosedur yang Disepakati. Laporan jenis ini dikenal dengan istilah Agreed Upon Procedure (AUP). Sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik, di dalam AUP, Pemeriksa tidak boleh menyatakan pendapat,” papar Soesilo.

Kelima, surat dakwaan tidak cermat dalam menggunakan ketentuan hukum yang dijadikan dasar penuntut umum pada dakwaan Karen.

Di dalam surat dakwaan, penuntut umum menyebutkan adanya beberapa ketentuan hukum yang menjadi dasar dakwaannya. Namun, seluruh ketentuan hukum tersebut tidak relevan dengan surat dakwaan kepada Karen.

Keenam, surat dakwaan tidak cermat dan tidak lengkap dalam menerapkan Pasal 18 Ayat (1) Huruf B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terkait dengan pidana tambahan berupa uang pengganti.

“Penuntut Umum juga telah mendakwa Karen dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Penerapan pasal tersebut di dalam perkara ini berbeda dengan pendapat penuntut umum yang menyatakan Karen dan terdakwa lainnya tidak pernah mendapat keuntungan dari kegiatan investasi di Blok BMG,” ungkap Soesilo.

Ketujuh, surat dakwaan tidak jelas. Penuntut umum tidak dapat merumuskan dengan tepat peranan terdakwa sebagai pleger atau medepleger atau doenpleger, sehingga mendakwa Karen dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan terdakwa lainnya. Padahal semestinya penuntut umum menguraikan peran masing-masing, apakah sebagai pleger (telah melakukan) atau medepleger (turut serta melakukan) atau doenpleger (menyuruh melakukan) atau peran-peran lainnya. Namun, di dalam surat dakwaan, penuntut umum tidak pernah menguraikan peran-peran tersebut.

Disisi lain, penuntut umum menyatakan akan mempelajari nota pembelaan Karen dan akan menanggapinya pada sidang selanjutnya yang akan digelar pekan depan.(RI)