PADA 2017 bisa dibilang tidak banyak yang berubah dari kondisi sektor minyak dan gas (migas) nasional. Harga minyak dunia yang masih rendah, meski membaik membuat investasi yang menjadi tolak ukur gairah bisnis di tanah tidak kunjung membaik.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah sebagai regulator untuk bisa memperbaiki kondisi tersebut. Salah satu upaya yang paling disorot adalah begitu banyaknya regulasi yang dibuat dan diotak atik pemerintah di sektor energi, termasuk migas.

Tahun ini boleh jadi merupakan tahun paling bersejarah dalam tatanan pengelolaan industri migas nasional. Duet Ignasius Jonan dan Arcandra Tahar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berani menggebrak sektor migas dengan mengubah skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) cost recovery yang sudah digunakan puluhan tahun menjadi PSC gross split melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.

Skema tersebut mencakup tiga kategori base split. Pertama adalah base split atau dasar patokan perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah, untuk minyak base split adalah 57% pemerintah dan sisanya kontraktor. Untuk gas 52% pemerintah dan sisanya bagian kontraktor.

Variabel split, di antaranya adalah status wilayah kerja, lokasi lapangan, kedalaman resevoir, ketersediaan infrastruktur pendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S, berat jenis minyak bumi, TKDN pada masa pengembangan lapangan dan tahapan produksi.

Selain 10 variabel tersebut ada juga mekanisme progressive split dengan indikator harga minyak, kapasitas produksi yang dicapai, serta tambahan split berdasarkan nilai keekonomian lapangan.

Praktis baru satu kontrak migas yang sudah menggunakan skema tersebut, yakni Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi, anak usaha PT Pertamina (Persero).

Penerapan skema gross split juga tidak berjalan mulus. Selang beberapa bulan, regulasi yang mengatur kontrak bagi hasil itu pun direvisi melalui Permen ESDM Nomor 27 Tahun 2017 yang intinya menambahkan insentif berupa split kepada kontraktor dalam perhitungan variabel split dan progresif split.

Pemerintah berharap perubahan skema kontrak dari cost recovery menjadi gross split menjadi stimulus dalam peningkatan investasi migas. Pembuktian skema anyar tersebut dalam lelang 15 Wilayah Kerja (WK) migas. Pemerintah mengklaim kontraktor menaruh minat terhadap WK migas yang menggunakan skema gross split.

Sejauh ini sudah ada 20 kontraktor yang mengambil dokumen lelang, namun masih belum ada yang mengembalikan karena para kontraktor menunggu regulasi pajak skema gross split.

“Mereka sudah menyatakan minat untuk ikut, hanya tinggal menunggu legalitas pajak gross split saja,” kata Arcandra Tahar Wakil Menteri ESDM, beberapa waktu lalu.

Sektor hulu migas menjadi sektor yang paling dibenahi sepanjang 2017. Tidak hanya merubah skema kontrak bagi hasil pada kontrak baru, pemerintah juga merealisasikan perubahan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang cost recovery dan pajak hulu migas dengan diterbitkannya PP No 27 Tahun 2017.

Pekerja beraktivitas di salah satu anjungan lepas pantai Blok Offshore North West Java (ONWJ).

Selain itu, untuk merangsang kembali investasi Kementerian ESDM juga memangkas ratusan perizinan yang ada di meja Direktorat Jenderal Migas. Melalui Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2017 tentang perizinan pada usaha minyak dan gas bumi. Permen tersebut diharapkan menata perizinan migas menjadi lebih sederhana, transparan, efektif, efisien dan akuntabel.

Dalam beleid tersebut, Kementerian ESDM hanya tinggal mengurusi enam perizinan dan empat non perizinan. Dua di hulu migas, yaitu izin survei dan izin pemanfaatan data migas serta empat di hilir migas, yaitu usaha pengolahan migas; izin usaha penyimpanan migas; izin usaha pengangkutan migas; dan izin usaha niaga migas.

Agar aktivitas industri hulu migas lebih produktif, Kementerian ESDM juga bersinergi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW) mengembangkan sistem integrasi informasi terkait pemberian fasilitas fiskal atas impor barang operasi keperluan KKKS untuk kegiatan usaha hulu migas. Impor barang untuk kegiatan operasi hulu migas telah dipangkas dari semula 42 hari menjadi 24 hari.

Selain itu, sistem online juga menjadi cara terbaru untuk mempercepat proses pengurusan izin yang semula 40 hari menjadi 10 hingga 15 hari. Bahkan dengan sistem online, jangka waktu pengurusan izin bisa rampung menjadi sekitar lima hari.

Perubahan regulasi tersebut menjadi senjata Jonan dan Arcandra dalam upaya meningkatkan minat investasi, maklum saja insentif fiskal yang selama ini diminta kontraktor dipastikan tidak akan terwujud. Apalagi sektor migas sekarang sudah tidak lagi menjadi primadona dalam penerimaan negara. Otomatis Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara akan sangat selektif memberikan insentif fiskal.

Untuk kemajuan proyek, tidak banyak yang bisa direalisasikan pada tahun ini. Praktis hanya ada satu proyek besar yang bisa on stream, yakni di Lapangan Jangkrik yang dioperatori ENI. Lapangan tersebut bisa memproduksi gas hingga 600 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Ini membuat lapangan Jangkrik menjadi salah satu lapangan gas terbesar kontribusinya terhadap produksi gas nasional. Beberapa proyek lainnya yang on stream tidak terlalu besar kontribusinya seperti proyek lapangan Madura BD, Donggi Matindok dan Senoro. Serta di pengujung akhir tahun ada Paku Gajah Development Project (PGDP).

Ada satu proyek lagi yang akhirnya dimulai, yakni Proyek Jambaran Tiung Biru yang groundbreaking dan mulai dibangun pada tahun ini. Jambaran Tiung Biru merupakan proyek gas terbesar di Pulau Jawa dengan target produksi sekitar 172 MMSCFD dan bisa rampung paling cepat pada 2021.

Sektor Hilir

Jika gross split menjadi isu sentral di sektor hulu, maka penerapan bahan bakar minyak (BBM) satu harga menjadi program prioritas pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla di sektor hilir migas. Setelah menetapkan program tersebut di Papua pada akhir 2016, pemerintah pun mencanangkan program BBM satu harga di seluruh Indonesia mulai 1 Januari 2017.

Sulit merealisasikan program tersebut di seluruh kawasan Nusantara, pemerintah pun kemudian fokus menerapkan program BBM satu harga di daerah 3 T, yakni daerah tertinggal, terdepan dan terluar. Untuk itu, sepanjang 2017 pemerintah menetapkan target 54 titik lokasi akan bisa menikmati program BBM satu harga.

Pertamina yang ditugaskan pemerintah untuk merealisasikan program BBM satu harga menyebutkan semua titik yang ditargetkan dibangun lembaga penyalur telah tuntas direalisasikan.

“Alhamdulillah, BBM satu harga mencapai target. Dua SPBU yang selesai dibangun di Kepulauan Natuna,” kata Muchamad Iskandar, Direktur Pemasaran Pertamina, Kamis (28/12).

Salah satu agen penyalur BBM satu harga diserbu masyarakat yang ingin memperoleh BBM yang harganya ditentukan pemerintah.

Selain BBM satu harga, masalah tingginya harga gas pipa juga mencuat sepanjang tahun ini. Dan hingga tutup tahun, belum ada yang bisa dilakukan pemerintah untuk bisa menurunkan harga gas pipa bagi konsumen, terutama industri pengguna gas. Padahal penurunan gas dengan maksimal harga yakni US$6 per MMBTU sudah diperintahkan Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi juga telah ditetapkan mengenai harga gas bumi untuk pengguna industri yang berlaku sejak 1 Januari 2016.

Bahkan ada lnstruksi tambahan Presiden dalam Rapat Kabinet Terbatas pada 4 Oktober 2016 yang mengatakan harga gas untuk industri ditetapkan US$5-US$6 per MMBTU guna memperkuat daya saing industri.

Tercatat baru tiga industri yang menikmati harga sesuai dengan instruksi Presiden tersebut, yakni industri pupuk, baja dan petrokimia. Industri lainnya, yakni oleochemical, kaca, keramik dan sarung tangan karet masih harus berjuang menghadapi mahalnya harga gas sebagai bahan baku utama.

Tidak hanya gas pipa, masalah LPG, khususnya untuk kemasan 3 kilogram (kg) yang mendapat subsidi pemerintah pun tidak kunjung tuntas. Bahkan sempat muncul kelangkaan LPG subsidi kemasan 3 Kg di pasaran. Pemerintah dan Pertamina sampai harus melakukan operasi pasar di berbagai wilayah untuk menanggulangi kelangkaan LPG tersebut.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, menegaskan sektor hilir berhubungan langsung dengan masyarakat terutama dalam penyediaan energi. Untuk itu, harus ada peningkatan kinerja pemerintah. Berbagai rencana yang sudah dibuat jauh-jauh hari untuk menyalurkan energi yang disubsidi dengan tidak mengorbankan keuangan negara secara percuma seperti LPG dan BBM harus segera direalisasikan.

Potensi kebocoran subsidi yang disebabkan terus meningkatnya impor harus bisa dicegah dengan berbagai cara, salah satunya dengan konversi BBM menjadi BBG.

“Bagaimana mengkonversi BBM ke BBG. Karena begitu mengkonversi BBM ke BBG, kebutuhan BBM kita mengecil otomatis defisit transaksi berjalan kita juga menjadi bagus,” kata Satya.

Selain itu, pemerintah diminta lebih fokus dengan rencana pembangunan infrastruktur gas, termasuk jaringan gas rumah tangga. Jika itu sudah terbangun maka pemerintah tidak perlu lagi melakukan impor LPG untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Cara lainnya adalah dengan tidak lagi menunda pelaksanaan distribusi LPG secara tertutup. Mekanisme yang selama ini digunakan yakni dengan mensubsidi barang harus diubah karena rentan akan penyelewengan.

“Harusnya yang disubsidi itu manusianya bukan barangnya, jadi subsidi harus secara langsung,” tandas Satya.

Industri migas merupakan industri dengan risiko tinggi. Untuk itu, peran pemerintah dibutuhkan, Kebijakan yang pas dan tepat sasaran tentu menjadi senjata utama pemerintah untuk bisa menurunkan risiko tersebut.

Saat ini industri migas bukan lagi jadi primadona dalam penerimaan negara, namun yang harus diingat industri ini masih menjadi motor perekonomian bagi industri-industri lainnya.(Rio Indrawan)