JAKARTA – Wilayah Jawa dan Sumatera dipastikan masih akan diprioritaskan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dibanding pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP).

Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan daya beli masyarakat saat ini cenderung rendah, sehingga lebih memungkinkan  memprioritaskan pengembangan PLTU.

“Panas bumi akan tersisihkan untuk daerah-daerah Jawa dan Sumatera, karena tidak bisa compete dengan batu bara. Panas bumi dikembangkan di daerah timur, dimana BPP-nya masih dua digit,” kata Abadi kepada Dunia Energi, Senin (14/5).

Abadi mengatakan pengembangan energi panas bumi akan terus diupayakan sustainable. Meski saat ini pengembangan PLTP masih jalan perlahan, investasi terus mengalir.

Pembangunan PLTU suatu saat akan bertemu satu titik untuk direduce. Para investor, hanya berharap suatu peraturan yang sustain dan tidak mudah berubah sehingga bisa ikuti perkembangannya day to day.

“Yang jadi permasalahannya karena offtaker kita hanya PT PLN (Persero). PLN saat ini masih berpikir bahwa PLTU yang lebih positif daya serapnya, maka PLN masih prioritaskan batu bara. Dan, sampai saat ini masih align dengan rencana umum energi nasional,” ungkap Abadi.

Total kapasitas PLTP kuartal I 2018  mencapai 1.924,5 megawatt (MW) dari target hingga akhir 2018 sebesar 2.058,5 MW. Capaian ini menempatkan Indonesia sebagai produsen listrik panas bumi peringkat kedua di dunia setelah Amerika Serikat, yang semula ditempati Filipina.

Penambahan kapasitas terpasang PLTP pada 2018 berasal dari beroperasinya PLTP Karaha kapasitas 30 MW dan PLTP Sarulla Unit 3 kapasitas 110 MW, yang telah COD 2 April 2018 kapasitas 86 MW. Selanjutnya akan menyusul pada  Agustus 2018 PLTP Sorik Marapi Modullar Unit 1 dengan kapasitas 20 MW, serta PLTP Sorik Marapi Unit 1 kapasitas 30 MW, PLTP Lumut Balai Unit 1 kapasitas 55 MW, dan PLTP Sokoria Unit 1 kapasitas 5 MW pada  Desember 2018.

Beberapa upaya terobosan pengembangan panas bumi yang dilaksanakan pemerintah antara lain pengembangan panas bumi di wilayah timur, penugasan kepada BUMN, penyederhanaan perizinan, penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi, dan geothermal fund dan government drilling.

Menurut Abadi, economic growth tidak sesuai harapan. Saat membuat perencanaan bauran energi baru terbarukan (EBT) economic growth 7 %, tapi sekarang 5 %.

Dengan demikian electricity growth rendah, maka semua akan bergeser termasuk pembangunan pembangkit. Yang kita pegang ujungnya, yakni target bauran EBT 23%, sesuai COP 21,” kata Abadi.(RA)