JAKARTA – Indonesia diyakini masih menjadi primadona atau tujuan investasi para pelaku usaha dari luar negeri, terutama Eropa. Namun ada syarat utama jika mereka mau menanamkan investasi, yakni ada keseriusan pemerintah untuk menggunakan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT)

Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan banyak investor dari Eropa akhirnya tidak memilih masuk ke Indonesia lantaran pasokan listrik masih dominasi pembangkit batu bara.

“Kita tahu beberapa pabrik-pabrik di Eropa mau masuk Indonesia asal listriknya berasal dari EBT. Mereka tidak mau pemasok listrik ke pabrik mereka dari listrik kotor atau fosil,” kata Halim, Senin (21/9).

Indonesia hingga kini masih menjadikan batu bara sebagai bahan bakar utama untuk pembangkit listrik. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019 hingga 2028, porsi batu bara untuk pembangkit listrik 54,4% dan porsi EBT hanya 23%.

Halim mengakui, batu bara membuat harga listrik murah, namun dampaknya buruk pada lingkungan, terutama emisi gas kaca. Disisi lain, hingga kini pemerintah belum serius memprioritaskan pembangkit listrik EBT. Terlihat dari tidak adanya payung hukum sekelas undang-undang.

“Kadin menilai terhambatnya sektor EBT ini disebabkan regulasi yang berubah-ubah di masa lalu sehingga memperburuk iklim investasi. Karena enggak ada payung hukum yang lebih tinggi daripada menteri dalam mendorong EBT,” kata dia.

Belum lagi menurutnya kebijakan menteri di sektor EBT terlalu sering alami perubahan. Hal ini akhirnya membuat target pembangkit EBT rendah. Selain itu penetapan harga jual listriknya yang dinilai terlalu rendah tanpa mempertimbangkan pengembalian modal juga menjadi disinsentif bagi pelaku usaha.

Beberapa upaya yang ditawarkan pemerintah saat ini juga dinilai kurang optimal. Adanya tax holiday dan tax allowance yang diberikan hanya 5 tahun. Padahal, 5 tahun pertama setelah itu keuangan perusahaan masih negatif, jadi seharusnya pengusaha tidak perlu bayar pajak PPh.(RI)