JAKARTA – Nilai 41,64% saham PT Freeport Indonesia sebagai bagian dari divestasi 51% saham anak usaha Freeport-McMoRan Inc itu dinilai sangat mahal. Semestinya yang menjadi rujukan perhitungan harga saham adalah periode kontrak karya  Freeport yang berakhir pada 2021, bukan periode KK hingga 2041.

“Dengan masa berlaku kontrak karya yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US$3 miliar-US$4 miliar,” kata Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS, Selasa (10/7).

Menurut Marwan, Freeport menginginkan nilai saham lebih tinggi karena yang dijadikan acuan adalah periode kontrak karya hingga 2041. Padahal, tidak ada ketentuan dalam KK yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang kontrak hingga 2041. Yang terjadi sebelumnya (pada awal 1990-an) adalah berbagai upaya dan rekayasa yang ditengarai telah dilakukan Freeport dan oknum pejabat untuk kontrak karya baru yang seharusnya merupakan perpanjangan.

“Implikasinya kontrak karya asli yang seharusnya berakhir pada 2021, kemudian diklaim oleh Freeport menjadi berakhir pada 2041,” kata Marwan.

Dia menambahkan, dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3-4 tahun,  diyakini nilai 41,64% saham Freeport hanya berkisar US$ 1 miliar-US$1,5 miliar. Jika sanksi-sanksi hukum akibat kerusakan lingkungan yang nilainya sangat besar diperhitungkan, maka nilai yang harus dibayar negara untuk 41,46% saham divestasi Freeport diperkirakan hanya beberapa ratus juta dolar AS saja.

Proses penetapan harga saham harus melibatkan lembaga penegakan hukum seperti KPK, guna mendapatkan proses yang transparan dan tidak manipulatif. Serta bebas kongkalikong dalam rangka mencari rente ekonomi.

“Pemerintah harus berupaya maksimal menyelesaikan negosiasi kontrak karya Freeport secara konstitusional, bebas KKN, bebas pencitraan dan bebas kepentingan politik pemilu. Jika penyelewengan masih terjadi,  kesempatan untuk memulihkan kedaulatan negara dan martabat bangsa yang telah hilang selama setengah abad akan terlepas,” kata Marwan.(RA)