JAKARTA –Isu transisi energi kian kencang menuju puncak perhelatan G20 di Bali, November 2022. Komitmen pemerintah turut serta dalam pengurangan emisi karbon menjadi salah satu agenda penting yang akan dibahas dalam perhelatan tersebut.

Terkait dengan itu, sektor energi nasional pun kini harus menghadapi dua tantangan utama sekaligus, yaitu: peningkatan produksi guna memastikan ketahanan energi dan mengurangi beban impor, serta pencapaian target nett zero emission.

Upaya menjaga ketahanan energi pada masa transisi seperti saat ini, menjadi hal yang patut diperhatikan oleh seluruh pemangku kepentingan, mengingat masih belum optimalnya pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia.

“Karena itu, gas bumi sebagai sumber energi berbasis fosil yang lebih bersih daripada batubara dan minyak bumi, diharapkan dapat menjadi andalan dalam mendukung transisi energi,” ujar Marolijn Wajong, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), pada Media Briefing IPA Convex 2020, bertajuk “Gas Bumi sebagai Jembatan Menuju Transisi Energi”, di Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Marolijn menegaskan, Indonesia memiliki potensi gas bumi yang sangat besar sehingga diyakini dapat mendukung proses transisi energi dengan tetap memenuhi kebutuhan energi nasional. Namun, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu agar potensi gas bumi yang ada tersebut dapat diproduksi dan dimanfaatkan secara maksimal.

“Para pengambil kebijakan sebaiknya tetap berusaha memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat meningkatkan keyakinan investor untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek gas yang ada, terutama dalam hal keekonomian. Selain itu, keberlanjutan proyek gas bumi juga perlu diperhatikan agar ketersediaan gas bumi yang menjadi sumber energi tidak terputus,” katanya.

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Forum Pengguna Gas Bumi Indonesia (FPGBI), yang hadir pada acara tersebut mengatakan gas bumi adalah bahan baku yang sangat penting untuk menggerakan industri. Namun, saat ini porsi gas bumi sebagian besar masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor daripada industri dalam negeri. “Kebutuhan domestik gas bumi untuk industri nasional pun belum optimal terpenuhi,” ujarnya.

Terkait harga, Achmad menilai, kebijakan harga gas bumi tertentu yang sudah dibuat oleh pemerintah hingga saat ini belum memberikan dampak yang signifikan. “Kebijakan ini dirasa belum terlihat memberikan dampak pada tujuh jenis industri yang dimaksud. Belum ada inovasi, peningkatan daya saing, dan penciptaan multiplier effect seperti yang diharapkan, sesuai Kepmen 134 Tahun 2021,”ujarnya.

Achmad menjelaskan, peran gas bumi seyogyanya tak tergantikan karena selain sebagai bahan baku atau komoditi, gas bumi juga merupakan sumber energi yang paling efisien. “Itu sebabnya, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus tidak hanya kepada industri hilir, melainkan juga kepada industri hulu yang menjadi produsen gas bumi,” ujarnya.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan menuju transisi energi nasional bersifat sangat strategis. Hal ini merujuk pada beberapa tahun terakhir dimana penemuan cadangan migas nasional didominasi oleh gas bumi.

Selain soal potensi tersebut, menurut dia, kebijakan yang diambil pemerintah untuk industri hulu harus dilihat secara lebih luas. “Perlu diingat bahwa sektor hulu migas memiliki multiplier effect yang besar, sehingga nilai tambah yang ditimbulkan pun cukup besar dan signifikan bagi perekonomian nasional,” ungkapnya.

Sayangnya, lanjut Komaidi, kebijakan di sektor ketenagalistrikan saat ini justru mengalami pergeseran dari pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi. “Dalam roadmap transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang terbaru, pemerintah cenderung lebih mengutamakan pemanfaatan EBT daripada gas bumi,” ujarnya.

Padahal, dari aspek regulasi, menurut Komaidi, pemerintah telah mendorong pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit listrik dengan menetapkan kebijakan harga gas bumi tertentu. Untuk itu, dia mendorong pemerintah bersama pelaku industri hulu dan pelaku industri hilir untuk duduk bersama guna menentukan kebijakan yang tepat bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor energi nasional.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, bauran energi utama yang ditetapkan sebagai berikut. Pertama, energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya sebesar 31% pada 2050. Kedua, minyak harus lebih kecil dari 25% pada 2025 dan lebih kecil dari 20% pada 2050. Ketiga, batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% pada 2050. Dan keempat, gas setidaknya paling sedikit 22% pada 2025 dan paling sedikit 24% pada 2050

“Dari target tersebu, gas bumi menjadi sumber energi yang justru ditingkatkan target ketersediaannya dalam mendukung transisi energi,” ujar Komaidi. (DR)