JAKARTA – Menjelang diselenggarakannya Glasgow Climate Change Conference (COP26) pada November 2021, Indonesia sudah mempersiapkan sejumlah ambisi iklim yang dicatatkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Updated NDC Indonesia, maupun Dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disampaikan kepada UNFCCC pada Juli 2021, sebagai mandat dari Paris Agreement/Perjanjian Paris, yang juga telah diratifikasi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan sektor energi akan turut berkontribusi dalam upaya pengendalian perubahan iklim utamanya dari penurunan emisi gas buang dari industri dan transportasi.

“Sektor energi tidak ketinggalan untuk ikut menurunkan emisi gas buang. Upaya ini dilakukan karena penurunan efek rumah kaca tidak akan berkelanjutan apabila tidak diikuti penurunan emisi dari gas buang bahan bakar yang kita gunakan,” kata Arifin Tasrif dalam acara Climate Leaders Massage, Kamis (28/10).

Ia menjelaskan langkah penurunan gas buang dari sektor energi sudah dimulai dengan penggunaan bioenergi, mendorong penggunaan kendaraan listrik, merubah pembangkit listrik energi fosil menjadi energi yang lebih bersih dan terbarukan seperti energi biosolar, hydropower, matahari, angin, dan panas bumi, serta potensi energi baru terbarukan lainnya.

“Penggunaan bioenergi terbukti tidak banyak berpengaruh terhadap kinerja mesin. Ini tentunya memberikan sinyal yang positif bagi upaya pengurangan energi yang berasal dari fosil. Kita pantas bersyukur karena banyak alternatif energi yang dimiliki Indonesia,” ujar Arifin.

Dalam kesempatan yang sama Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mengungkapkan bahwa kepemimpinan Indonesia dalam aksi-aksi pengendalian perubahan iklim diakui oleh masyarakat internasional. Indonesia dianggap negara yang penting di dunia dengan segala pencapaiannya dan isu perubahan iklim. Indonesia sudah menunjukkan kepemimpinan dengan contoh/leading by examples yang cukup baik, bahkan salah satu yang terbaik di dunia.

Kombinasi yang efektif antara kebijakan, pemberdayaan, dan penegakan hukum di Indonesia telah berhasil menurunkan laju deforestasi Indonesia ke tingkat terendah sepanjang sejarah. Pada isu manajemen karhutla, Indonesia berhasil mengurangi kebakaran hutan dan lahan hingga 82% disaat beberapa wilayah di Amerika, Australia dan Eropa mengalami peningkatan signifikan kejadian karhutla. Indonesia juga berhasil menghindari apa yang disebut bencana ganda, yaitu kebakaran hutan yang menyebabkan asap terjadi secara paralel dengan wabah COVID-19, selama dua tahun pandemi (2020-2021).

Indonesia juga gencar melindungi ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, lamun dan terumbu karang juga lahan gambut, yang secara ilmiah terbukti mempunyai kemampuan berkali lipat dalam menyerap dan menyimpan karbon dibandingkan hutan tropis di daratan. Untuk itu Indonesia pun telah mengumumkan prakarsa untuk memulihkan 600 ribu hektar hutan mangrove yang rusak selama tiga tahun ke depan hingga 2024.

Besarnya kontribusi sektor kehutanan dan lahan pada 6-7 tahun terakhir dalam penurunan emisi karbon ini, menjadi dasar agenda Forest and Land Use (FoLU) Netsink pada tahun 2030 yang diusung Indonesia sebagai ambisi besar yang terukur pada Glasgow Climate Change Conference (COP26) nanti. 60% emisi Indonesia diketahui berasal dari sektor FoLU, untuk itu Indonesia mentargetkan FoLU netsink 2030, yang berarti di tahun 2030 nanti serapan emisi karbon di sektor kehutanan dan lahan sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari pada tingkat emisinya.

“Selama 6-7 tahun dengan kerja keras yang telah dikerjakan bersama, maka target FoLU netsink karbon optimis bisa kita capai di 2030,” ungkap Siti Nurbaya.

Suryopratomo, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, menyoroti tentang betapa pentingnya semua pihak baik dilevel nasional maupun global untuk menjaga alam demi menghindarikan terjadinya perubahan iklim.

“Kita merasakan bahwa bumi telah mengalami tingkat kerusakannya lebih dasyat saat ini, 150 tahun terakhir bumi telah berubah total. Inilah yang harusnya membangkitkan kita semua untuk bersama sama bagaimana menyelamatkan bumi, bagaimana mencegah terjadinya pemanasan bumi, yang akan berakibat pada perubahan ekosistem dan akan membuat makhluk hidup menghadapi malapetaka,” ujarnya.

Ia pun menyatakan jika pertemuan di Glasgow COP 26 nanti merupakan kegiatan yang sangat penting untuk bersama sama untuk menyelamatkan bumi.

“Indonesia sudah sejak awal berupaya memberikan kontribusi, karena Indonesia mempu dan memiliki kekayaan sumber daya alam, plasma nutfah, dan dianggap sebagai paru-paru dunia, serta terumbu karang, juga mangrove yang bisa menyerap CO2 begitu besar dari emisi gas buang akibat kegiatan disektor industri dan transportasi yang bisa mengubah suhu bumi menjadi lebih panas,” kata Suryopratomo.(RA)