JAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) merilis 45 kasus konflik pertambangan terjadi sepanjang 2020. Jumlah tersebut meningkat hampir lima kali lipat jika dibanding 2019 sebanyak 11 konflik.

“Jika dihitung sejak 2014-2019, saat dimana Presiden Joko Widodo berkuasa, terdapat 116 konflik pertambangan yang berhasil dicatat,” ungkap Merah Johansyah, Koordinator Jatam Nasional, Senin (25/1)

Merah memaparkan, luasan konflik pertambangan sepanjang 2020 sudah mencapai 714.692 hektare atau setara dengan tiga kali luas Kota Hongkong. Apabila dijumlahkan sepanjang 2014-2020, maka luasan konflik mencapai 1.640.440 hektare atau setara dengan tiga kali luas Pulau Bali.

Adapun klasifikasi konflik yang terjadi sepanjang 2020 itu, antara lain pencemaran dan perusakan lingkungan (22 kasus), perampasan lahan (13 kasus), kriminalisasi warga penolak tambang (8 kasus), dan pemutusan hubungan kerja (2 kasus). Dari total jumlah konflik itu, terdapat 13 kasus yang melibatkan aparat militer maupun polisi.

Menurut Merah, konflik dan kriminalisasi pertambangan ini berdampingan dengan pemberian izin pertambangan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU),  meski di kawasan berisiko bencana gempa bumi, tsunami dan banjir.

Terdapat 104 konsesi pertambangan di kawasan beresiko bencana gempa bumi dan terdapat pula 11 PLTU tetap dibangun di kawasan beresiko bencana tsunami.

“Begitu pula banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel), kami menemukan 70 konsesi pertambangan batu bara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Tengah hingga Banjar. Di keseluruhan Kalsel Jatam memetakan 814 lubang tambang yang menganga dan berkontribusi pada banjir,” ujar Merah.

Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Kajian Penanggulangan Bencana UPN Veteran Yogyakarta, mengatakan tata kelola pertambangan di Indonesia masih abai manajemen resiko bencana, sehingga resiko tidak bisa diatasi dan dibebankan pada alam dan masyarakat lingkar pertambangan

Jatam mengolah data Sistem Informasi Pinjam Pakai Kawasan Hutan (SIPKH) yang bisa diakses publik di situs KLHK, ditemukan hingga Juni 2020 terdapat 1.034 unit Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan di 34 provinsi di Indonesia dengan luas 499.655,57 Ha atau setara dua kali luas Kabupaten Bogor.

Merah mengatakan luasan Kawasan hutan yang diberikan izin menggunakan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diobral sejak Orde Baru termasuk Saat Era Reformasi, sejak zaman Menteri M.Prakosa (2001-2004), MS Ka’ban (2004-2009), Zulkifli Hasan (2009-2014) hingga Menteri Siti Nurbaya (2014-sekarang).

“Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH adalah izin penggunaan Kawasan hutan yang diberikan pejabat setingkat Menteri untuk kepentingan non kehutanan termasuk untuk sawit dan pertambangan,” kata Merah.

Jatam memproyeksikan bahwa pasca gelombang pemilu oligarkis, Indonesia menghadapi babak baru kejahatan negara-korporasi, negara dan korporat bekerjasama dalam kejahatan, disaat dimana sesuatu yang ilegal dan kriminal didefinisikan menjadi sesuatu yang legal atau bahkan melampauinya. DPR berubah bukan menjadi kanal suara rakyat namun menjadi stempel dan bertindak bak firma konsultan korporat memperjuangkan pasal-pasal pro korporat, para anggota dewan berperilaku sebagai lobbyist.

Merah mengatakan, semua ini tercermin dari lahirnya Omnibus Law Cipta Kerja dan beberapa peraturan sebelumnya seperti Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Pilkada Serentak 2020 di 270 wilayah lebih menyerupai sarana dan momentum pemilihan calon-calon operator proyek ekstraktif, proyek gusur, tebang dan keruk secara serentak yang akan semakin memburuk pada 2021, jika tidak diikuti perubahan yang lebih sistemik,” tandas Merah.(RA)