SEPERTI biasa antrian kendaraan sepeda motor di SPBU Pertamina berkode 31.103.03 selalu panjang karena memang berada di kawasan perkantoran. Namun yang membedakan, banyak diantara para pengendara mengantri di jalur biru alias jalur BBM jenis Pertamax Series.

Farhan, yang berprofesi sebagai tukang ojek online salah satu yang ikut mengantri. Pria berusia 19 tahun itu mengaku sudah langganan mengisi BBM di SPBU yang dikelola PT Pertamina Retail itu. Maklum saja rumahnya masih berada di kawasan Cikini, tidak jauh dari SPBU.

Meski harganya Rp9.850 per liter, lebih mahal dari Premium yang berharga Rp6.550 per liter, Farhan masih tetap konsisten memilih Partamax. Setiap kali pengisian Farhan hanya merogoh kocek antara Rp 25 ribu – Rp 27 ribu. Dengan nilai sebesar itu tangki BBM motor maticnya sudah terisi penuh dan bisa untuk berkeliling Jakarta selama dua hari mengantar penumpang, pesanan makanan dan pengiriman barang.

“Untuk dua hari sih, jadi saya isi full setiap dua hari sekali,” kata Farhan saat ditemui Dunia Energi usah mengisi BBM di SPBU Cikini, Jakarta, Jumat (8/11).

Menurut pria yang bernama lengkap Farhan Putra Ardiyan, ongkos bensin yang tidak lebih dari Rp 30 ribu sangat membantu kondisi keuangannya. Apalagi berprofesi sebagai tukang ojek online yang penghasilan tidak tetap, tergantung kegigihannya. Jika rajin ia bisa mengantongi Rp 100 ribu – Rp 150 ribu per hari. Jumlah yang cukup untuk membantu keuangan keluarga.

Menurut Farhan ini tidak lepas dari pilihannya untuk menggunakan BBM Pertamax. Dia menilai kondisi mesin serta kinerja motor sangat terjaga baik dengan penggunaan BBM yang memiliki kadar Research Octane Number (RON) 92 itu. “Pas​ gas berasa itu, enak juga ​bunyi​nya (mesin),​ ​ber​beda​ (lebih halus)​,” katanya.

Ia mengaku pernah menggunakan BBM jenis Premium, tapi motornya lebih sering parkir di bengkel lantaran mesinnya berulangkali mengalami masalah. “Dulu pakai Premium pas pakai​ motor bapak. ​Kalau yang saya ​​rasain cepet hancur​ mesinnya​, kalau ​Pertamax ​enggak begitu, enggak​ sering service​,” ungkap Farhan.

Manfaat penggunaan BBM dengan oktan tinggi juga dirasakan oleh Astie Sulastri, seorang karyawati yang biasa menggunakan motor sebagai alat transportasi utamanya. Belajar dari pengalama dia terdahulu saat gunakan Premium, kini ia tidak mau ambil risiko dan lebih memilih Pertamax sebagai bahan bakar tunggangannya.

Efisiensi adalah hal yang paling Ia rasakan. Dengan jarak tempuh sekitar 12 Kilometer dari tempat tinggal di wilayah Pasar Senen, Jakarta Pusat dan tempatnya bekerja di Pancoran, Jakarta Selatan, Astie hanya habiskan biaya tidak lebih dari Rp 30 ribu setiap minggu.

“Maksimal isi Rp 25 ribu rata-rata itu sudah full kalau Pertamax,. Itu untuk rute Senen-Pancoran, enggak mampir kemana-mana,” katanya kepada Dunia Energi.

Untuk urusan mesin Astie tidak terlalu memperhatikan, tapi yang jelas untuk perawatan rutin setiap satu sampai dua bulan sekali pasti dilakukan dan tidak pernah ada keluhan berarti, terutama yang menyangkut mesin motor.

Pertamina memang sangat merekomendasikan Pertamax untuk digunakan pada kendaraan yang memiliki kompresi rasio 10:1 hingga 11:1 atau kendaraan berbahan bakar bensin yang menggunakan teknologi setara dengan Electronic Fuel Injection (EFI).

Dengan ecosave technology, Pertamax mampu membersihkan bagian dalam mesin (detergency), Pertamax juga dilengkapi dengan pelindung anti karat pada dinding tangki kendaraan, saluran bahan bakar dan ruang bakar mesin (corrotion inhibitor), serta mampu menjaga kemurnian bahan bakar dari campuran air sehingga pembakaran menjadi lebih sempurna (demulsifier).

BBM jenis Pertamax memang memiliki keunggulan tersendiri, terutama dari sisi kualitas baik untuk mesin kendaraan ataupun untuk lingkungan. Pertamina menyatakan semakin yakin dan siap untuk membanjiri produk BBM-nya itu di masyarakat karena saat ini kemampuan produksi Pertamax sudah jauh meningkat dengan telah selesainya perbaikan kilang Cilacap melalui Proyek Langit Biru Cilacap (PLBC).

Pengendara motor memilih mengisi BBM jenis Pertamax. (Foto/Dunia Energi/Rio Indrawan)

Standar Euro 4

Ignatius Tallulembang, Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, mengungkapkan bahwa rampungnya PLBC merupakan salah satu wujud perubahan Pertamina untuk menyediakan bahan bakar dengan kualitas jauh lebih baik dan berstandar dunia. PLBC menandai bahwa Pertamina sudah bisa disejajarkan dengan perusahaan internasional lainnya yang memproduksi BBM dengan kualitas nomor wahid. Kini Kilang Cilacap sudah bisa mengolah dan memproduksi BBM dengan standar Euro 4. Ini jadi yang pertama karena sebelumnya produksi BBM Pertamina hanya berstandar Euro 2.

“Kami menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Oktannya 92 dengan kualitas Euro 4,” kata Tallulembang.

BBM berstandar Euro 4 sendiri sudah sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk kandungan RON BBM yang ramah lingkungan. Produksi BBM dari PLBC ini juga menjawab kebutuhan industri otomotif yang memproduksi kendaraan bermotor mutakhir dengan engine system sesuai spek BBM standar Euro 4.

Pembangunan PLBC menelan investasi US$ 392 juta dengan lingkup pekerjaan meliputi revamping unit platforming I sehingga kapasitas produksi meningkat 30% menjadi 18.6 MBSD. Serta pembangunan unit baru LNHT – Isomerization dengan kapasitas design 21.5 MBSD serta pembangunan beberapa unit Utilities untuk mendukung unit proses PLBC yang merupakan lanjutan dari pembangunan Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap.

“Dengan beroperasinya PLBC, kapasitas produksi Pertamax di Kilang Cilacap meningkat signifikan menjadi 1,6 juta barrel per bulan dari sebelumnya 1 juta barrel,” kata Tallulembang.

Dengan beroperasinya PLBC yang terintegrasi dengan Kilang Cilacap, kapasitas operasinya menyumbang sekitar 33,4% dari total kapasitas kilang nasional. PLBC diklaim mampu mengurangi impor high octane mogas component (HOMC) sebagai komponen blending produk gasoline secara signifikan sehingga berdampak positif pada upaya pemerintah memperkuat cadangan devisa negara.

“PLBC ini akan memperkuat cadangan devisa negara dan akan berkontribusi terhadap GDP Indonesia sekitar 0,12%,” ujar Tallulembang.

Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif sekaligus dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan dari sisi RON, Pertamax jelas jauh lebih ideal dari Pertalite apalagi Premium. ​Lebih lanjut, Martinus menjelaskan bahwa RON secara makro adalah tingkat ketahanan jenis bahan bakar dalam menerima tekanan kompresi.

“Semakin naik nilai RON bensin semakin susah terbakar. Kompresi mesin semakin tinggi maka campuran bahan bakar dan udara akan semakin padat, dan semakin sedikit pula emisi gas buang nya. Disamping itu, tentu energi yang dihasilkan akan semakin besar,” kata Martinus kepada Dunia Energi belum lama ini.

Dia menuturkan Pertamax – RON 92, memiliki faktor emisi (CO2) sebesar 69.300 kg CO2/TJ dan kandungan sulfur maksimal 130 ppm.  Sementara standar emisi negara-negara Uni Eropa saat ini miminal Euro 4 dengan kadar NOx 80 mg/km untuk bensin dan 250 mg/km untuk diesel, unleaded.

​Martinus menjelaskan kandungan sulfur maksimum varian Pertamax mulai dari 50 ppm hingga 130 ppm, sedangkan aturan Euro 4 mensyaratkan ~ 80 mg/km, lalu untuk Euro 5 mensyaratkan ~ 60 mg/km, dan Euro 6 mensyaratkan ~ 60 mg/km. Jika asumsi satuan 1 mg/km diperkirakan setara dengan 1.000 ppm, maka semakin tinggi kelas varian Pertamax yang dibuat, semakin rendah pula kadar polutannya.

​”Jadi jika varian produk Pertamax dinyatakan sebagai bahan bakar standar dunia, memang begitulah kenyataannya. Karena sudah comply dengan aturan internasional,” kata Martinus.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan bakar yang tepat untuk kendaraan adalah penggunaan angka RON yang sesuai dengan tekanan kompresi mesin. Dengan menggunakan bahan bakar yang tepat maka disamping kita mendapatkan performa dan keawetan mesin yang paling optimal. “Bahan bakar yang sudah berkualitas akan semakin mampu mereduksi emisi gas buang kendaraan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan hidup jika didukung oleh teknologi combustion yang disematkan pada kendaraan tersebut,” jelas Martinus.

Sementara itu, Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan bahwa upaya Pertamina untuk menghadirkan bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan harus didukung, karena ini juga yang diamanatkan oleh pemerintah. Penggunaan Pertamax kata Tulus menjadi bentuk implementasi penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan. Karena itu harus mendapat dukungan dari seluruh stakeholder.

“Pertamax harus menjadi prioritas guna menuju transisi ke Euro 4. Perlu dukungan dari semua pihak, baik Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Industri Otomotif,” ujar Tulus saat dihubungi Dunia Energi.

Pertamina kata Tulus sudah berada dijalur yang tepat dengan menyelesaikan PLBC serta berbagai rencana proyek kilangnya yang juga didesain bisa hasilkan BBM berstandar Euro 5 nantinya. “Effort Pertamina sudah sangat keras dan on the track. Jangan sampai investasi yang sudah dibangun dengan mahal malah sia-sia karena tidak ada dukungan dari pemerintah,” kata Tulus. (Rio Indrawan)