DEFISIT neraca perdagangan akibat tingginya impor terus menjadi sorotan Presiden Joko Widodo. Baru-baru ini Jokowi kembali dibuat gusar oleh kenyataan bahwa industri petrokimia tanah air menjadi penyebab tingginya impor. Presiden menilai dengan sumber daya alam yang dimiliki seharusnya Indonesia tidak lagi menjadi importir berbagai produk berbahan petrokimia. “Padahal kita bisa produksi barang itu, kenapa harus diteruskan seperti itu?” kata Jokowi  saat memberi sambutan pada pembukaan Indonesia Banking Expo 2019 di Jakarta, Rabu (6/11).

Ada urgensi untuk membangun industri petrokimia nasional. Pasalnya, petrokimia jadi bahan baku bagi banyak industri manufaktur seperti plastik, tekstil, cat, farmasi bahkan kosmetik. Lantaran kemampuannya masih sedikit, alhasil lebih dari 50% kebutuhan petrokimia harus dipenuhi dari luar negeri.

Perhatian tentu saja langsung mengarah ke PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi,  yang diharapkan mampu menjawab kegelisahan kepala negara dengan berbagai rencana pengembangan kilang yang diintegrasikan dengan petrokimia.

Pertamina saat ini sebenarnya sudah mampu memproduksi petrokimia. Sayangnya kapasitas produksi yang dimiliki  Pertamina masih minim. Volume produksi petrokimia baru 600.000 ton per tahun dengan beberapa produk yang dihasilkan antara lain seperti paraxylene, bahan baku industri tekstil; propylene sebagai bahan baku kosmetik; benzene digunakan dalam proses produksi plastik; parafin wax sejenis lilin untuk bahan batik; sulphur material barang karet dan kendaraan; paraffinic oil material, material barang karet, ban kendaraan; aspal, bahan pelapis jalan raya; serta ada low aromatic white spirit digunakan dalam industri tinta cetak.

Ignatius Tallulembang, Direktur Mega Proyek dan Petrokimia Pertamina, menegaskan Pertamina sadar betul akan pentingnya pengembangan kilang yang terintegrasi dengan petrokimia. Dengan terus meningkatnya kebutuhan petrokimia ke depan,  Pertamina siap menjawab tantangan tersebut melalui enam proyek kilang Pertamina terdiri atas empat proyek pengembangan atau Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan, Balongan, Cilacap, dan Dumai. Di luar itu, ada dua pembangunan kilang baru atau New Grass Root Refinery (NGRR) Tuban dan Bontang.  “Volume produksi petrokimia menjadi 6.000.000 ton per tahun pada tahun 2026 nanti,” kata Tallulembang.

RDMP dan NGRR akan menggunakan teknologi terbaru sehingga seluruh kilang Pertamina nantinya memiliki fleksibilitas tinggi jadi tidak hanya mengolah bahan bakar tetapi juga mampu menghasilkan petrokimia. Ini juga yang membuat keekonomian proyek menjadi lebih baik karena ada kepastian pengembalian usaha dari bisnis kilang.

“Kilang kami buat fleksibel, bisa diubah ketika nanti dibutuhkan. Kilang keekonomian 20-30 tahun. Konsep desain kita teruskan menjadi petrokimia. kilang-kilang akan terintegrasi dengan petrokimia,” kata Tallulembang.

Pertamina memang tidak main-main dalam menjadikan petrokimia sebagai bisnis utama perusahaan ke depan. Waljiyanto, Vice President Strategic Marketing Pertamina, mengatakan proses pergeseran bisnis Pertamina tersebut akan berlangsung selama enam tahun di mulai pada 2020.

“Seperti dicanangkan oleh top management, pada 2020 hingga 2026 terdapat pergeseran bisnis Pertamina. Selama ini, backbone bisnis Pertamina adalah fuel. Secara perlahan, itu nanti akan beralih ke petrokimia, sesuai dengan perubahan lingkungan usaha yang menuntut kami untuk mengimbanginya,” ungkap Waljiyanto.

Akhir tahun nanti Pertamina akan melakukan akselerasi pembangunan komplek petrokimia di Balongan, Jawa Barat dengan kapasitas satu juta ton per tahun ethylene yang akan habiskan biaya pembangunan mencapai US$ 8 miliar. “Tidak hanya ethylene ya tapi nanti bisa produksi turunannya macam-macam,” ujar Tallulembang.

Penyediaan lahan untuk komplek petrokimia ini sudah selesai dengan adanya percepatan beberapa proses persiapan tersebut, rencananya pada 10 Desember Pertamina akan dilakukan penandatanganan Joint Venture Development Agreement (JVDA) dengan calon mitra pembangunan nanti yakni China Petroleum Corporation (CPC) Taiwan.

Tallulembang mengatakan bisnis petrokimia memang bisnis yang sarat dengan keuntungan, itu tidak lepas dari berbagai produk turunan yang dihasilkan. Bonus lain dari bisnis ini untuk Indonesia tentu pengurangan impor. Untuk itu percepatan dilakukan dan ditargetkan bisa selesai pada 2025. Target baru ini lebih cepat satu tahun dari target yang dicanangkan sebelumnya.  “Selesai akhir 2025. Petrokimia Balongan ini sampai dengan produk spesial, nanti khusus. Ini paling turunannya spesifik yang belum ada di dalam negeri seperti. Kami bisa katakan ini sampai hilirisasinya,” jelas dia.

Proyeksi suplai dan kebutuhan polimer. (sumber : Inaplas)

Pembangunan industri petrokimia tidak bisa ditawar. Berdasarkan data asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) kebutuhan polimer meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan pada 2019 mencapai enam juta ton per tahun. Sementara kapasitas produksi dalam negeri baru bisa memenuhi setengahnya atau baru mencapai 3,2 juta ton sehingga sisa kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor.

Pertumbuhan Permintaan

Budi Susanto Sadiman, Wakil Ketua Umum Inaplas, mengungkapkan bahwa tidak boleh lagi ada kemunduran pembangunan kilang Pertamina jika memang perusahaan tidak ingin kehilangan momentum. Pasalnya beberapa perusahaan petrokimia lainnya juga sudah membaca adanya pertumbuhan permintaan tinggi petrokimia.

Menurut Budi dengan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang masih ada peluang Pertamina mendapatkan pasar petrokimia domestik, tapi jika target pertumbuhan ekonomi tidak tercapai maka itu akan menjadi tantangan besar Pertamina untuk mencari pasar petrokimia. “Tidak boleh lagi mundur rencana pengembagan Pertamina, kalau mundur mereka tidak akan mendapatkan pasar dalam negeri. Mungkin bisa saja keluar (ekspor),” kata Budi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyatakan bahwa petrokimia bagi Pertamina adalah solusi jangka panjang. Wajar jika memang manajemen memutuskan untuk menggeser bisnis hilir mereka dari BBM ke petrokimia.

Menurut Komaidi, Pertamina sebenarnya sudah masuk ke petrokimia hanya saja masih belum optimal padahal industri turunannya banyak. Ini yang bisa jadi peluang Pertamina. “Turunan produk petrokimia ini banyak dan tidak lekang oleh perkembangan industri misalnya aspal,” katanya.

Tidak hanya itu, jangkauan industri petrokimia juga luas. Kita tentu tahu bagaimana pemerintah terus mendorong pemanfaatan listrik hingga ke transportasi melalui kendaraan listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Pertamina akan kesulitan jika harus bersaing menyediakan energi berbasis EBT karena sudah ada PT PLN (Persero). Jalan terbaik adalah menyediakan komponen pembuatan kendaraan listrik.

“Sudah tidak banyak pilihan untuk Pertamina, paling hanya panas bumi, BBM pun otomatis harus bersaing dengan negara lain sehingga yang dianggap oke petrokimia,” kata Komaidi. (Rio Indrawan)