JAKARTA – Pemerintah mengakui target 23% Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam energi mix nasional pada  2025 tidak akan tercapai, apabila kondisi pengembangan dan investasi EBT masih seperti saat ini. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi bauran EBT pada 2025 hanya sekitar 20%.

“Ya kira-kira begitu (20% pada 2025), saya khawatir tidak akan tercapai 23% kalau lihat perkembangannya,” kata Ignasius Jonan, Menteri ESDM disela-sela pembukaan Indonesia Clean Energy Forum di Jakarta, Kamis (15/11).

Panas bumi menjadi andalan pemerintah untuk mengejar target bauran energi 23% dari EBT.

Menurut Jonan, tolak ukur yang bisa dilihat sehingga memicu kekhawatiran target tidak akan tercapai adalah realisasi investasi di sektor EBT yang masih minim hingga kini. Kalaupun ada investasi besar, namun bisa langsung berpengaruh terhadap harga listrik ke masyarakat. Karena itu pemerintah tidak asal mengizinkan pengembang membangun pembangkit listrik EBT.

“Nilai investasinya berapa, apakah ini bisa memberikan dampak yang serius pada kenaikan tarif listrik, makanya kami hindari,” kata Jonan.

Rencana Umum ENergi Nasional (RUEN) mematok target penggunaan EBT terhadap energi mix nasional mencapai 23% pada 2025. Untuk gas 22%, batu bara 30% dan minyak 25%. Sementara posisi saat ini untuk sektor ketenagalistrikan posisi EBT baru mencapai 13%.

Salah satu andalan pemerintah untuk mendongkrak penggunaan EBT di ketenagalistrikan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal. Berdasarkan kalkulasi yang telah dilakukan pada waktu tujuh tahun ini bisa menambah sekitar 2% penggunaan EBT secara energi mix nasional. Kemudian pembangkit lainnya yang jadi andalan adalan PLTA.

“Walaupun ada yang mini, itu banyak sekali, kalau dikumpulkan itu 50-100 megawatt (MW). Ada juga beberapa pembangkit yang besar-besar,” ungkap Jonan.

Andalan pemerintah lainnya untuk menambah penggunaan EBT adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Menurut Jonan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan aturan agar pemasangan solar panel bisa masif di rumah-rumah dan digedung perkantoran.

“Kan ini negara tropis, masa kurang  PLTS-nya. Ini mau dikeluarkan peraturan untuk setiap rumah pasang solar PV. Jadi nanti ekspor impor listrik ke dan dari PLN,” tukas dia.

Sektor lainnya yang sedang dikejar penggunaan EBT-nya adalah transportasi. Perluasan penggunaan biodiesel 20% atau B20 turut meningkatkan energy mix menjadi sekitar 12%-13% untuk sektor transportasi. Tapi itu saja dinilai belum cukup. Apalagi bahan bakar yang tersedia ternyata terbatas.

Jonan menuturkan mesin-mesin yang ada menggunakan bensin gasoline campurannya pakai, jika ingin meningkatkan EBT maka etanol menjadi pilihan, akan tetapi supply-nya terbatas karena bahan pembuatnya juga masih dikonsumsi masyarakat.

“Ini di Indonesia setengah mati bahannya apa, tebu bersaing dengan konsumsi manusia. Begitu juga ketela sama. Memang kalau skala lab kecil-kecil bisa. Coba kalau nasional, saya sangat berharap, sangat mendorong ada industri pertanian atau perkebunan yang besar misal menanam ketela pohon dalam skala jutaan hektar dikonversi jadi etanol. Sehingga bisa jadi campuran. Kalau tidak impor lagi,” papar Jonan.

Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), pemerintah harus tetap optimistis untuk mengejar target peningkatan bauran energi dari EBT. Berbagai inovasi, baik dari sisi regulasi maupun teknologi harus diupayakan.

“Kita harus mendorong PLN untuk mendorong transformasi bisnis, sehingga melihat EBT sebagai aset masa depan,” tandas Fabby.(RI)