JAKARTA– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan 12 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 12 wilayah di Tanah Air akan beroperasi pada 2019 hingga 2022. Target ini juga sekaligus mendorong peningkatan kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).

Arcanda Tahar, Walik Menteri ESDM, mengatakan 12 PLTSa tersebut ditargetkan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari. “Listrik dari PLTSa ini akan dibeli oleh PLN,” kata Arcandra.

Menurut Arcandra, dengan kapasitas 10 MW, Surabaya akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut pada tahun 2019. Biaya investasi yang dikucurkan sekitar US$ 49,86 juta dan bisa menyerap volume sampah sebesar 1.500 ton/hari.

Lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi, yang memiliki nilai investasi sebesar US$ 120 juta dengan daya 9 MW. Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PLN sehingga ada kemungkinan beroperasi pada 2021.

Pada 2021, bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar US$297,82 juta.

Terakhir, pada 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di 5 (lima) kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$345,8 juta, Bandung 29 MW dengan investasi US$245 juta, Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dan investasi yang sama, yaitu US$120 juta.

“Perbedaan biaya (inivestasi) itu berbantung pada teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah,” kata Arcandra seperti dikutip laman Kementerian ESDM, Sabtu (23/2).

Menurut Arcandra, kehadiran pembangunan PLTSa Sampah tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Di dalam aturan tersebut, Pemerintah Daerah bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa dan nanti akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp500 ribu per ton sampah.

“Jadi Bapak/Ibu bisa kalau cukup sampahnya untuk dijadikan waste to energy. Silahkan ajukan dengan mekanisme seperti itu,” jelas Arcandra.
Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang. “Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff dimana tarif ditetapkan sampai US$17 – 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah US$17 sen,” kata Arcandra.

Menurut dia, kehadiran Perpres ini bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah US$17 sen, sekitar US$ 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping fee inilah yang nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.

Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan itu, pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW. “Ini jalur khusus sesuai diktum kelima,” ujarnya. (RA)