JAKARTA – Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) 2019 menunjukkan pemanfaatan potensi pembangkit listrik surya atap bangunan rumah di seluruh Indonesia mencapai 655 GW, potensi sumber daya panas bumi mencapai 25 GW, dan sekitar 15 GW telah diidentifikasi untuk dieksplorasi.

“Dari kajian IESR (2019), untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, dibutuhkan investasi US$58 miliar-US$120 miliar. Lima tahun terakhir investasi di bidang energi terbarukan stagnan dan cenderung di bawah target rencana investasi yang ditetapkan Kementerian ESDM,” kata Faby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam acara diskusi di Jakarta, Senin (19/8).

Menurut Faby, rata-rata investasi energi terbarukan pada 2015-2018 hanya US$1,368 miliar per tahun. Lebih dari 75% investasi berasal dari sektor panas bumi yang telah melakukan aktivitas persiapan proyek 5-10 tahun terakhir. Padahal, jika mengacu pada kebutuhan investasi untuk memenuhi target 23% energi terbarukan, diperlukan investasi US$6 miliar-US$10 miliar per tahun.

Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin harus melakukan terobosan dengan fokus pada mobiliasi investasi untuk mengejar target 23% energi terbarukan. Untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan diperlukan percepatan investasi dari BUMN dan swasta.

Sekitar 70-80% kebutuhan investasi pengembangan energi terbarukan diperkirakan berasal dari sektor swasta. Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi harus segera mencabut dan memperbaiki kualitas kebijakan dan regulasi yang menghambat investasi di sektor energi terbarukan dan mengurangi risiko investasi sesuai karakter teknologi energi terbarukan dengan instrumen-instrumen fiskal dan finansial (misalnya skema eksplorasi panas bumi) dan memberikan harga jual-beli tenaga listrik yang memadai sesuai kaidah bisnis yang wajar.

“Pemerintan harus menggunakan APBN untuk menarik investasi. Dengan kemampuan APBN yang terbatas sebaiknya APBN dioptimalkan untuk menyediakan insentif bagi pengembangan energi terbarukan,” kata Faby.

Dia menambahkan, salah satu instrumen yang bisa dibuat adalah Viability Gap Fund (VGF) untuk menutupi selisih harga listrik energi terbarukan dengan biaya pokok pembangkitan PT PLN (Persero) setempat, dan insentif pendanaan dengan suku bunga yang kompetitif.

Terobosan lain yang harus dilakukan pemerintah, fokus pada substitusi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) untuk mengurangi konsumsi BBM pada pembangkit listrik dengan energi terbarukan setempat. PLN hingga kini diketahui masih mengoperasikan PLTD sebesar 5,2 GW, dimana sekitar 2,3 GW ada di kawasan Indonesia Timur.

“Terobosan lain adalah pemberian insentif kepada daerah untuk mengembangkan energi terbarukan lewat instrumen DAU, dan insentif kepada PLN untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan melalui instrumen pelformance-based regulation,” tandas Faby.(RA)